REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN--Sesampainya di atap alias dek 6, saya lihat ada sekitar 10 orang yang luka parah seperti saya. Nampaknya kebanyakan orang Turki. Angin kencang yang berasal dari helikopter seperti hendak menerbangkan saya, sampai kupegang botol infus sendiri, takut diterbangkan juga, karena selang infus sudah mengibas-ibas hebat.
Begitu giliran saya tiba untuk diangkut ke atas helikopter, saya diikat ditandu, lalu dikerek ke atas ditandem dengan seorang paramedik AL Israel. Sesampainya di dalam helikopter, yang menyambut saya seorang dokter bule Israel berkaca mata. Dia memeriksa luka, bahkan membelah sedikit bagian yang tertembak, seperti mencari peluru. Sakitnya luar biasa. Tapi mereka tidak menemukan peluru lalu ditutup lagi.
Saya lihat ada seorang pasien lain di helikopter. Seorang Turki bertubuh agak gemuk. Saya lihat indikator jantungnya sudah tidak memberikan sinyal naik turun. Hanya ada garis lurus. Sempat terpikir, “Nih orang masih hidup nggak ya?”
Kemudian dua orang tim medis, mungkin dokter, satu yang tadi berkaca mata, satu lagi botak, dua-duanya bule, memutuskan untuk menyuntik sesuatu dan menyayat saya di iga sebelah kanan. Sepertinya mereka menemukan perdarahan di dalam dan hendak mengeluarkan. Terasa ada darah menyembur dari sayatan itu, lalu mereka memasang selang yang belakangan baru aku tahu, gunanya untuk mengeluarkan darah. Belakangan saya diberi tahu darah yang keluar 1000 cc.
Kedua paramedik bule itu sepertinya sangat gembira setelah berhasil memasang selang itu. Karena saya lihat mereka bersalaman sesudah merampungkan pekerjaannya. Paramedik yang botak sering mengacungkan jempol dan berkata “OK” kepada saya sambil tersenyum.
Dalam waktu sekitar 20 menit helikopter mendarat di sebuah helipad di sebuah dataran terbuka. Hampir tidak ada bangunan di sekitarnya. Helikopter atau pesawat lain juga tidak terlihat. Saya kemudian diangkut dengan ambulan. Di ambulan saya bertanya nama tempat itu kepada paramedik Botak tadi. Dia menjawab, “Haifa…”
Sesudah 10 menit, sampailah kami di sebuah rumah sakit dan di situ saya bertemu dengan beberapa pasien lain yang kebanyakan relawan Turki. Seluruh pakaian saya dibuka, diganti pakaian pasien berwarna putih. Seorang perawat perempuan menanyakan nama. Saya hanya menunjukkan kantong celana tempat paspor saya. Diambilnya lalu dia menuliskan identitas saya. Sejak itu nama saya disebut dengan cara berganti-ganti, “Suuuriya… Suraya… Suryaaa…” Kebanyakan sejak hari itu memanggil “Suraya”, mungkin gara-gara penulis pertama menulis dalam bahasa Ibrani dengan ejaan seperti itu.
Sesudah itu saya diperiksa secara maraton, dipindahkan dari satu meja periksa ke meja periksa lainnya. Saya ditanya apakah bisa berbahasa Inggris. Saya diberitahu seseorang berseragam rumah sakit warna biru muda, “Anda tidak perlu bergerak sama sekali, kami yang akan memindahkan Anda.” Mereka bekerja cepat dan cekatan. Kesan saya para dokter dan perawat Israel itu orang-orang yang selalu ingin bekerja cepat, tidak pernah diam atau santai, selalu bergerak dan melakukan sesuatu. Kayak orang kebelet kencing.
Saya dibawa dan diperiksa dari meja ke meja hampir tidak ada jeda. Begitu selesai CT-Scan saya sudah langsung mau dioperasi. Saya sempat disodori dua lembar dokumen yang harus ditandatangani dua-duanya, dan diberitahu akan dioperasi. Saya sempat bertanya, “Apakah [operasi] ini benar-benar perlu?”
“Ya perlu sekali. Supaya kita tahu luka apa saja yang ada di dalam tubuh Anda,” jawab seseorang berseragam medis. Sesudah tanda tangan, saya langsung dibawa ke kamar operasi, dan diberitahu bahwa akan dianastesi alias dibius total. Ruang operasi itu terasa dingin sekali. Tapi beberapa detik kemudian saya sudah tak ingat apa-apa…………(bersambung)
Pengakuan Surya Fachrizal Saat Ditembak Israel (1)
Pengakuan Surya Fachrizal Saat Ditembak Israel (2)
Pengakuan Surya Fachrizal Saat Ditembak Israel (4)
Pengakuan Surya Fachrizal Saat Ditembak Israel (5-habis)