REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengatakan penyederhanaan biaya pemilu kepala daerah (Pilkada) yang menjadi salah satu materi bahasan revisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu cara meminimalkan penyelewengan keuangan daerah.
Gamawan, di Jakarta, Kamis (17/6), mengatakan penyederhanaan biaya pemilu menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang prihatin dengan banyaknya kepala daerah terjerat kasus penyimpangan anggaran.
Sejak 2004, menurut Gamawan, setidaknya Presiden Yudhoyono telah mengeluarkan izin pemeriksaan terhadap 150 kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten. Jumlah tersebut belujm termasuk kepala daerah yang terkena kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi karena lembaga itu tidak memerlukan ijin Presiden guna meminta keterangan pejabat negara. "Dari 524 kepala daerah, 150 itu kan persentase yang besar," ujar Gamawan.
Mendagri menilai besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan seorang calon untuk berlaga dalam Pilkada menyebabkan kian besar pula keinginan calon tersebut untuk menyelewengkan keuangan daerah setelah terpilih untuk menggantikan biaya yang telah dikeluarkan. "Kalau di kita yang banyak itu pengerahan massa, itulah yang butuh biaya besar," katanya.
Selain itu, lanjut dia, besarnya biaya yang dikeluarkan seorang calon dalam Pilkada rentan menyebabkan keributan apabila calon tersebut kecewa karena kalah. "Kalau kecewa menggugat melalui jalur hukum bagus, tapi kalau mengambil tindakan seperti di Mojokerto, di Toli-Toli, itu jadi masalah karena uang sudah keluar banyak," ujar Gamawan.
Penyederhanaan biaya Pemilu dalam revisi UU Pemda, menurut dia, dapat dilakukan dengan mengubah aturan penyelenggaraan Pemilu seperti larangan pengerahan massa agar diubah menjadi debat publik. Ia menjelaskan pada 2010 untuk penyelenggaraan 244 pemilihan kepala daerah di Indonesia, pemerintah harus mengeluarkan dana mencapai Rp3 triliun. Dari jumlah itu, lanjut dia, tentu lebih banyak lagi yang harus dikeluarkan oleh seorang calon untuk berlaga dalam Pilkada.
Gamawan menjelaskan terdapat dua penyebab kasus penyimpangan keuangan daerah oleh kepala daerah, yang pertama karena ketidakpahaman pengelolaan keuangan daerah dan yang kedua karena sudah ada niat korupsi. Untuk mengatasi penyebab yang pertama, selain upaya meningkatkan integritas kepala daerah, Mendagri telah mengeluarkan Permendagri No.24 tahun 2010 yang mewajibkan setiap kepala daerah baru terpilih menjalani orientasi untuk memahami pengelolaan keuangan daerah, manajemen pemerintahan daerah, serta pengadaan barang dan jasa.
"Kalau setelah menjalani orientasi memang masih terjadi, maka itu memang ada niat untuk korupsi," demikian Gamawan.