Selasa 03 Aug 2010 22:56 WIB

Sembilan Imam AS Berkolaborasi Tangkal Terorisme Lewat YouTube

Sheik Hamza Yusuf, salah satu cendikiawan Muslim terkemuka di AS yang ikut berkolaborasi dalam pembuatan video
Foto: THE NEW YORK TIMES
Sheik Hamza Yusuf, salah satu cendikiawan Muslim terkemuka di AS yang ikut berkolaborasi dalam pembuatan video

REPUBLIKA.CO.ID, Penahanan beruntun baru-baru ini terhadap sejumlah Muslim yang dituduh pelaku terorisme di AS mengungkap bahwa banyak dari mereka menjadi radikal karena kotbah-kotbah militan yang mereka temukan di internet.

Merespon itu, kini sembilam cendikiawan Muslim AS bersama-sama meluncurkan kampanye lewat penayangan video di YouTube. Tujuan mereka mencegah sekaligus menyangkal pesan-pesan militan. Sembilan orang itu mewakili lembaga pendidikan Islam yang berbeda dan beberapa di antaranya memiliki pengikut jumlah besar dari kalangan pemuda Muslim AS.

Video itu menjadi satu indikasi bahwa pemimpin Muslim Amerika kini semakni melibatkan diri dalam perang gagasan dan opini yang terjadi dalam islam. "Kita perlu menggembala kawanan kita sendiri untuk mengatakan, secara teologis, hal-hal itu (tindakan kekerasan) tidak bisa diterima, ujar direktur Masyarakat Muslim Amerika (MAS) Imam Suhaib Webb. Ia adalah salah satu tokoh di antara sembilan orang yang berada di video.

"Rasul Muhammad, ketika dalam medan perang, melihat ada wanita ta berdosa dan anak-anak terbunuh di antara jenazah musuh yang lain langsung menyatakan kemarahan. Ia melarang kita membunuh orang tak berdosa. Itu sangat jelas," ujar Suhaib yang memiliki pendukung di Santa Clara, California, akhir pekan lalu.

Dalam sebuah wawancara, Jumat, ia mengatakan sebagai warga kulit putih asal Oklahoma yang memutuskan memeluk Islam, ia kian waspada dengan jumlah muallaf yang ditahan atas dakwaan merencanakan atau melakukan tindak kekerasan atas nama Islam.

Hanya di bulan Juli saja, satu orang muallaf Amerika di Virginia dan seorang lagi dari Alaska ditahan dan didakwa memiliki kaitan dengan terorisme. Mereka berdua disebut telah dipengaruhi oleh Anwar al-Awlaki, seorang militan kelahiran Amerika yang kini bersembunyi di Yaman dan aktif mengelola berbagai situs.

Ihsan Bagby, seorang asisten profesor di kajian Islam, Universitas Kentucky, yang juga berada dalam video berkata, "Kami berharap mereka yang kesepian di luar sana, karena ada perubahan dan kegelisahan dalam diri dan mulai mendengar orang-orang yang salah, melihat pula pesan ini untuk menyaring pendengaran mereka."

Direktur Pusat Kajian Radikalisasi Teroris di Yayasan Pertahanan Demokrasi berkomentar video itu dapat menjadi output yang kuat. "Itu memiliki kesesuaian cara dengan apa yang telah dilakukan para jihadis," ujarnya.

Ia sendiri menyatakan beberapa ulama di video itu memiliki pandangan politik kontroversial namun sekaligus kredibilitas di kalangan Muslim. Ia menilai mereka tidak terlihat menjual diri. "Beberapa mungki menilai ini lebih efektif ketimbang bila dilakukan oleh orang-orang yang lebih mapan," ujarnya.

Video tersebut, yang berdurasi lima menit 30 detik, dibuka dengan musik yang mirip dengan yang digunakan kaum radikal dalam video propaganda mereka. Sebuah kalimat berbunyi, “Believers Beware: Injustice Cannot Defeat Injustice" muncul di awal sebelum narasi dimulai.

"Banyak orang berkata ada masalah ketidakadilan terjadi di dunia," ujar pemimpin dari All Dulles Area Muslim Society, sebuah masjid di Virgina, Mohamed Magid, dalam video. "Itu betul, kami juga tahu ketidakadilan terjadi di muka bumi. Namun kami meyakini masih ada cara untuk mengatasi ketidakadilan tidak dengan cara mengambil nyawa orang tak berdosa,"ujarnya.

Direktur kebijakan dan pembuat program di Muslim Public Affairs Council--lembaga yang memproduksi video--, Edina Lekovic mengatakan, institusinya sengaja memilih cendikiawan yang mewakili berbagai aliran teologi penganut Islam di Amerika.

"Kami tidak ingin hanyak membidik kaum liberal, konservatif atau ultrakonservatif." ujar Edinoa. "Tujuan ini adalah menunjukkan bahwa di mana pun anda berdiri dalam spektrum agama, kita semua berbagi keyakinan dan kemarahan atas tindak kekerasan yang terus terjadi mengatasnamakan Islam," paparnya.

Satu-satunya kritikan yang ia terima ialah minus kehadiran cendikiawan Muslim wanita di video. Ia menyatakan hal itu semata-mata karena penjadwalan. Institusinya, ungkap Edina, akan segera membuat versi lain yang juga mengikutsertakan wanita. Ia juga menyatakan sebuah video lain tanpa musik juga akan digarap dikhususkan bagi mereka yang menganggap musik haram atau dilarang.

Dalam sebuah wawancara, Mohamed Magid berkata," Ini adalah sebuah awal dari upaya besar," ujarnya. Ia mengatakan saat ini seorang imam dituntut menjadi seorang imam virtual pula, menjawab pertanyaan di Web, memiliki blog. "Kita harus memberi ruang diskusi terbuka bagi kaum muda untuk membicarakan apa yang membuat mereka frustasi,"

sumber : The New York Times
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement