Kamis 12 Aug 2010 04:24 WIB

Dana Pemerintah Untuk Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Belum Terealisasi

Rep: min/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dana sebesar Rp 20 Miliar, yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat bertemu presiden Palestina, Mahmoud Abbas, untuk Pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza hingga kini belum terealisasi. Padahal, total dana yang diperlukan untuk keperluan konstruksi, tanpa equipment rumah sakit tersebut berkisar Rp 27-28 miliar dan dana yang kini tersedia dari MER-C baru sekitar Rp 13-15 miliar.

Demikian dikatakan oleh Ketua Presidium Medical Emergency Rescue Committe (Mer-C), Jose Rizal Jurnalis saat mengunjungi Republika, Rabu (11/8). Untuk itulah, kemudian MER-C mengadakan pertemuan dengan komisi I DPR. Sayangnya, hingga kini belum ada jalan tengah dari pertemuan tersebut. “DPR minta dana (pemerintah) itu sebaiknya diserahkan ke PBB, tapi kita protes karena nanti mereka ambil fee lagi dan ditenderkan lagi,” katanya.

Maka, Jose dan tim-nya berpendapat agar sebaiknya dana tersebut dimanfaatkan dengan optimal oleh komponen bangsa ini untuk pembangunan rumah sakit tersebut. Tujuannya, kata dia, agar kedepannya Israel bisa melihat bahwa masalah pemblokade-an Palestina merupakan masalah Internasional dan Indonesia sangat peduli akankonflik tersebut. “Kita juga menaikkan harkat bangsa ini di Timur Tengah,” kata Jose.

Karena alasan tersebutlah, MER-C meminta bantuan DPR. Agar ada solusi untuk menggabungkan dana MER- C dengan dana dari pemerintah. Disesalkan Jose, hingga kini DPR belum memperlihatkan sikap yang tegas dalam menggelontorkan dana pemerintah tersebut. Dimata MER-C, kata Jose, DPR nampak seperti mengandalkan seluruhnya pada MER-C. “Kalau kita berhasil DPR akan merasa senang dan siap memajang namanya, kalo tidak berhasil ya tidak mau tahu,” tegas dia.

Pada pertemuan itupun, pihak MER-C sempat mengusulkan ke DPR dan MER-C bekerja sama dengan membagi tugas. Artinya, MER-C akan menanggung keseluruhan dana untuk konstruksi, sementara DPR dan dana dari pemerintah tersebut akan menanggung keseluruhan dana yang dibutuhkan untuk keperluan equipment. Namun usulan tersebut pun, hingga kini belum menerbitkan solusi. “Karena dia tak mau setor uang ke MER-C dan kita juga tidak mau setor uang ke DPR,” katanya.

Akhirnya, seperti ditambahkan Divisi Konstruksi MER-C, Faried Thalib, fakta yang ada di lapangan adalah dana MER-C untuk pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Palestina masih kurang. “Ditambah fakta bahwa uang dari pemerintah juga belum jelas,” kata dia.

Oleh sebab itu, pihaknya mempertimbangkan untuk tetap menjalankan rumah sakit tersebut dengan dana yang ada. Pembangunan, akan dimulai dari yang paling mendesak. Dana yang kurang, menurutnya, akan diraih sambil berjalannya pembangunan. “Sebab ini dana umat, harus dilaksanakan sesuai amanah. Kalau sedikit-sedikit jalan (pembangunannya) insyaAllah nanti dana akan masuk,” kata dia.

Karenanya, dia menegaskan, kebijakan MER-C kini adalah menggencarkan publikasi untuk menceritakan keberlanjutan pembangunan, agar masyarakat terus mengetahu progress nya dan bisa turut berpartisipasi. Ide pembangunan RS Indonesia tercetus lebih dari satu tahun lalu dengan penandatangan MOU antara Tim MER-C mewakili rakyat Indonesia dengan Menteri Kesehatan Palestina di Gaza, dr. Bassim Naim.

PM Palestina Ismail Haniya pun menyatakan dukungannya dan memberikan sebidang tanah waqaf yang berlokasi di Bayt Lahiya, Gaza Utara. Luas tanah waqaf yang diberikan yaitu 1,5 hektar. “Rumah Sakit Indonesia yang akan kita bangun di Gaza adalah Rumah Sakit yang berfokus pada Traumatologi dan Rehabilitasi yang didisain khusus untuk wilayah perang, “ tambah Jose.

Rumah Sakit tersebut, didisain sendiri oleh relawan dokter dan insinyur MER-C. Menurutnya disain RS yang semula berlantai dua akan mengalami beberapa penyesuaian disebabkan adanya masukan dan permintaan dari PM Palestina Ismail Haniya dan Menteri Kesehatan di Gaza setelah mereka melihat langsung detail gambar rancang bangun RS yang dibawa olehTim MER-C dari Jakarta.

Penyesuaian itu diantaranya adalah pembuatan basement dan struktur pondasi untuk 4 lantai. Keberadaan basement memang wajar karena sebagai wilayah yang mempunyai pengalaman panjang dengan perang dan blokade, RS tentu sangat membutuhkan ruang penyimpanan (storage) yang cukup luas untuk obat-obatan dan perlengkapan medis sehingga apabila terjadi perang RS tetap mempunyai stok obat dan perlengkapan yang cukup.

Adanya penyesuaian inipun, otomatis akan menyebabkan biaya pembangunan meningkat. Belum lagi harga pembangunan di Gaza yang lebih mahal 1,5 kali lipat. Dalam kondisi normal, pembangunan RS bisa rampung dalam waktu satu tahun, yakni pada 2011.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement