Selasa 24 Aug 2010 21:44 WIB

Astaghfirullah, 200 Wanita di Kongo Jadi Koban Pemerkosaan Massal

Para wanita Kongo, korban permerkosaan massal pemberontak FDLR
Para wanita Kongo, korban permerkosaan massal pemberontak FDLR

REPUBLIKA.CO.ID, Milisi pemberontak Rwanda dan Kongo telah melakukan perkosaan ramai-ramai setidaknya terhadap 200 orang dan bebarapa bocah lelaki selama empat hari. Lokasi perkosaan itu pun masih dalam jangkauan markas tentara penjaga perdamaian PBB di distrik pertambangan Kongo timur, demikian menurut penuturan seorang pekerja relawan Amerika dan dokter Kongo.

Will F Cragin dari International Medical Corps, Selasa (24/8) mengatakan pemberontak telah menguasai kota Luvungi dan desa-desa sekitar di Kongo timur setelah serangan yang dilakukan pada 30 Juli. Lebih dari tiga pekan kemudian, misi perdamaian PBB di Kongo masih belum mengeluarkan pernyataan terkait tindak brutal tersebut dan menyatakan hingga kini masih menginvestigasi.

Cragin mengatakan organisasinya hanya bisa masuk ke kota yang berjarak 16 km dari kamp militer PBB Itu setelah pemberontak mengakhiri kesenangan brutal mereka dengan memperkosa, menjarah. Pemberontak menarik mundur anggota atas kemauan sendiri pada 4 Agustus lalu.

Sementara, juru bicara PBB di New York, Martin Nesirky, mengatakan hari ini, tim gabungan hak asasi manusia PBB tengah memverifikasi dugaan perkosaan yang dilakukan terhadap sedikitnya 154 orang oleh grup pemberontak FDLR dan Mai-Mai di desa Bunangiri. Ia mengatakan para korban kini tengah mendapat perawatan medis dan psikis.

Pasukan perdamaian PBB sebenarnya memiliki basis militer perusahaan di Kibua, 30 kilometer arah timur desa tersebut. Namun saat pendudukan berlangsung, pemberontak memblokir jalan dan mencegah warga desa untuk dapat mengakses titik komunikasi terdekat.

Pemimpin sipil setempat, Charles Masudi Kisa, mengatakan hanya ada 25 tentara penjaga perdamaian dan mereka tentu tak bisa berbuat apa-apa menghadapi 200 hingga 400 pemberontak yang menguasai wilayah berpenduduk 2.200 orang dan lima desa di sekitar.

Ketika akhirnya tentara perdamaian mendekati desa, pemberontak kembali masuk hutan. Namun, ketika Helm Biru--istilah bagi pasukan PBB--bergerak ke area lain, pemberontak itu pun datang kembali," ujarnya.

"Tidak ada pertempuran dan kematian," ujar Cragin. "Yang terjadi adalah penjarahan masih dan pemerkosaan secara sistematis terhadap para wanita," ujarnya.

Empat bayi lelaki juga diperkosa,demikian menurut penuturan kepala medis distrik setempat, Charles Kacha. Ia mengatakan ada bayi berusia satu bulan, enam bulan, setahun dan 18 bulan yang menjadi korban pemerkosaan brutal para pemberontak.

"Banyak wanita menuturkan mereka diperkosa di rumah, di depan anak-anak mereka dan suaminya, dan banyak juga yang mengatakan mendapat perlakuan itu berulang kali oleh tiga hingga enam pria," ujar Cragin. Sementara, imbuh dia, ada wanita-wanita lain yang diseret masuk hutan terdekat.

Sejauh ini pekerja internasional dan kesehatan lokal telah merawat 179 wanita. Namun, jumlah pemerkosaan bisa jadi lebih tinggi, mengingat banyak warga trauma yang masih bersembunyi.

"Kami akan terus kembali dan mengindentifikasi lebih dan lebih banyak kasus," ujarnya. "Banyak wanita yang masih berdatangan dari dalam hutan dalam kondisi miris, telanjang tanpa pakaian selembar pun," kata Cragin.

Ia mengatakan ketika mereka datang untuk meminta pertolongan, sudah terlambat untuk mendapat kontrasepsi dan pengobatan pencegah AIDS kecuali terhadap tiga wanita yang berhasil lolos dari pemerkosaan.

Luvungi adalah pusat pertanian terletak di antara ibu kota provinsi Kongo Timur, Goma, dan kota pertambangan utama, Walikale. Mereka yang berhasil lolos mengatakan penyerang adalah FDLR termasuk oknum genosida asal Rwanda yang pergi ke perbatasan menuju Kongo pada 1994 dan sejak itu ikut meneror rakyat Kongo.

Charles, mengatakan para pemberontak itu menyerang setelah tentara Kongo, tanpa penjelasan tiba-tiba ditarik dari Luvungi dan sekitarnya, di Walikali. Ia mengatakan penarikan itu terjadi setelah beberapa tentara menjadi desertir dan bergabung dengan pemberontak di hutan-hutan.

Pemerkosaan sebagai senjata perang secara mengejutkan kerap dilakukan di Kongo timur, di mana menurut PBB, sedikitnya 8.300 pemerkosaan dilaporkan tahun lalu. Diyakini masih banyak pemerkosaan yang tidak dilaporkan atau tak diketahui.

Hingga kini gabungan tentara PBB dan pasukan Kongo tidak mampu mengalahkan banyak pemberontak yang bertanggung jawab atas konflik berkepanjangan di Kongo. Konflik yang dipicu oleh cadangan mineral masif di kawasan tersebut.

sumber : news.com.au
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement