REPUBLIKA.CO.ID,Militer penjajah Zionis Israel, yang sedang dikejar-kejar obsesi keamanan, saat ini menghadapi musuh baru. Yaitu upaya untuk mengontrol apa yang dipublikasikan oleh para tentaranya di internet.
Situs jejaring sosial seperti Facebook, YouTube dan lain-lainnya telah berubah menjadi sumber yang membahayakan bagi militer (Israel) disebabkan oleh apa yang lakukan para pemuda yang direkrut dalam militer di negeri yang mengalami kegilaan teknologi ini, dengan mempublikasi informasi yang memalukan dan mungkin sensitif, yang melewati garis-garis kontrol ketat yang diterapkan oleh militer.
Surat kabar The Washington Post mengatakan, masalah ini diangkat dalam agenda nasional pekan ini setelah publikasi gambar yang serdadu wanita Israel sebelumnya di Facebook. Dalam gambar yang dia publikasikan, saat itu dia duduk bersama tahanan Palestina yang diborgol dan mata tertutup di bawah judul "militer.. masa terbaik dalam hidup saya".
Surat kabar Amerika ini menyatakan bahwa peristiwa yang menyulut kontroversial – di samping serangkaian peritiwa lainnya belakangan – ini menegaskan tantangan yang dihadapi militer Israel, yang memiliki teknologi tinggi dan dikenal memiliki satuan-satuan khusus perang elektronik, dalam konflik yang dihadapi untuk mengimbangi perubahan konstan yang terjadi di dunia internet.
Bulan lalu beredar video yang diposting di YouTube tentang para tentara Israel sedang berjoget saat mereka berpatroli di Tepi Barat. Yang kemudian membuat mereka mendapatkan teguran.
Dalam insiden lain, para anggota kesatuan intelijen rahasia militer Israel melalui halaman grup mereka di Facebook mengungkapkan tentang pangkalan rahasia di mana mereka menjalankan tugas wajib militer. Namun militer menghapus halaman tersebut setelah beberapa hari baru mengetahui hal tersebut.
Di antara kejadian paling serius (berbahaya), pembatalan serangan udara di Tepi Barat awal tahun ini setelah seorang prajurit Israel mempublikasikan beberapa rincian tentang operasi militer berikutnya di halaman Facebook.
Surat kabar Amerika ini mengutip dari Chisale Raffaelli dari University of Haifa, yang mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menggambarkan kesulitan yang dihadapi oleh militer dalam mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan komitmen dengan kebijakan dan membiarkan orang-orang tetap berhubungan dengan dunia komunikasi baru.
Dia mengatakan bahwa hal itu sangat berbeda dari media tradisional, yang tunduk pada pengawasan ketat oleh militer, terutama layanan berita internasional dan Israel harus menyampaikan laporan sensitif untuk dievaluasi, kemudian Kantor Pengawasan mengembalikan laporan tersebut setelah menghapuskan sebagian kosa kata atau bagian dari laporan tersebut.
Dan untuk memperoleh persetujuan melakukan sebuah sebuah wawancara dengan seorang komandan militer kadang memerlukan waktu beberapa minggu, bahkan setelah mendapatkan persetujuan harus mendapatkan perlakukan sangat ketat seperti keharusan ucapan komandan militer tersebut dievaluasi dulu oleh kantor Juru bicara militer. Tidak diperkenankan atas nama tentara atau memfotonya.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia Palestina dan Israel mengkritik keras foto serdadu wanita Israel bersama para tahanan Palestina dan menyebutnya sebagai simbol pendudukan Israel selama beberapa dekade terakhir.
Serdadu wanita Israel yang mempublikasikan gambar tersebut, Eden Obergil, terpaksa membela diri di televisi Israel. Dia membantah bahwa apa yang dilakukannya ini bermaksud untuk penghinaan.
Militer di sisi lain mengatakan bahwa pihaknya memperbolehkan tentara menggunakan situs jaringan sosial, tetapi untuk men-download bahan-bahan non-rahasia. Salah seorang komandan – yang tidak mau disebut namanya – menyatakan bahwa Dinas Pengawasan memilikisarana pemantau Internet dan memastikan tidak terpublikasikannya informasi yang sensitif.
Dia menambahkan bahwa dalam beberapa kasus memalukan yang tidak menimbulkan ancaman seperti foto-foto Obergil ini, tidak ada sesuau yang dapat dilakukan, karena masalah itu berkaitan dengan moralitas dan bukan keamanan.