REPUBLIKA.CO.ID, JALUR GAZA--Meski memenangkan pemilu di Palestina, Hamas tetap terpinggirkan. Dalam perundingan penting yang kini tengah berlangsung di Washington, Amerika Serikat antara Palestina dan Israel ini pun, Hamas seolah tak terdengar suaranya.
Peranan Hamas dalam pembicaraan damai Israel-Palestina memang tidak disebut-sebut. Baik kedua negara yang berunding maupun AS mengesampingkan Hamas yang secara tegas menolak negosiasi ini.
Penolakan Hamas terhadap pembicaraan damai ini ditunjukkan dengan aksi-aksinya yang menelan korban. Aksi ini seakan menggarisbawahi bahwa tidak akan ada perdamaian tanpa keterlibatan Hamas. Sejauh ini belum ada niatan AS untuk turut serta mengundang Hamas dalam negosiasi perdamaian apapun.
"Serangan ini dimaksudkan untuk memberi tahu (Presiden Palestina Mahmoud) Abbas, bahwa dia bukan orang yang memutuskan nasib rakyat Palestina," kata Ahmed Yousef, pejabat senior Hamas di Gaza, Jumat (3/9). Serangan itu menewaskan empat warga Israel. Ia mengulangi, bahwa yang layak dalam pengambilan keputusan nasional adalah Hamas karena merekalah memenangkan pemilihan parlemen pada 2006.
"Hamas tidak akan pernah setuju untuk diabaikan dan terisolasi dan kami dapat membongkar susunan kartu," lanjutnya. Hamas mengendalikan Jalur Gaza, salah satu dari dua wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan.
Hamas akan memveto kesepakatan apa pun yang dihasilkan dalam negosisasi ini dan tidak memberikan indikasi akan bersedia menerima kesepakatan dengan Israel dengan Abbas yang saat ini menjalankan pemerintahan saingan Hamas di Tepi Barat.
Abbas dan Netanyahu berbeda pendapat sangat jauh pada masalah yang membuat pembicaraand damai selalu gagal. Perbedaan meliputi perbatasan negara Palestina, nasib jutaan pengungsi Palestina, dan masalah paling menonjol: klaim atas kota suci Yerusalem. Seandainya terjadi kesepakatan antara Abbas dan Netanyahu, Hamas akan diperlukan untuk melaksanakan kesepakatan.
Warga Palestina meminta Tepi Barat dan Gaza, yang terletak di sisi berlawanan dari Israel, sebagai negara masa depan mereka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Untuk saat ini, rakyat Palestina sepakat pada satu masalah, tidak mungkin ada kedamaian jika tidak mengikutsertakan 1,5 juta warga yang tinggal di Gaza.
Abbas telah menolak solusi parsial, memberikan kemerdekaan hanya untuk Tepi Barat dan 2,4 juta warga Palestina. Ini akan dianggap oleh masyarakat Palestina sebagai tanda kelemahan dan Hamas akan mencap Abbas sebagai pengkhianat. Abbas telah berulang kali menganggap negosiasi perjanjian damai sebagai referendum nasional yang juga akan meliputi orang-orang di wilayah Gaza.