REPUBLIKA.CO.ID, PARIS--Bagi warga Jakarta atau kota lain di Indonesia mengunjungi masjid tertua saat merayakan Idul Fitri sudah biasa. Tradisi itu nampak sedikit berbeda ketika kunjungan berlangsung di Paris atau kota besar lain di dunia Barat.
Suasana justru lebih haru, lebih hangat dan khidmat. Khusus Paris misalnya, di tengah tekanan politis terhadap komunitas Muslim Prancis, kunjungan ke masjid tertua di kota fesyen utama dunia itu menjadi pelipur lara sekaligus menghilangkan rasa rindu akan suasana berlebaran di kampung halaman.
Masjid tertua Paris dihimpit dua jalan utama distrik lima kota itu. Masjid ini dibangun tahun 1926 dan menjadi yang terbesar hingga kini. Bangunan Masjid terintegrasi dengan kompleks bangunan yang terdiri dari sejumlah bangunan yang mengakomodasikan segala akitivitas komunitas Muslim Prancis seperti tempat shalat, sekolah agama, perpustakaan, ruang konferensi dan apotek yang bernama Sheik Abbas.
Tak hanya itu, kompleks masjid juga dilengkapi teras yang berfungsi sebagai ruang santai untuk sekadar menikmati secangkir teh. Di sayap kanan kompleks terdapat pula satu restoran dan butik yang siap melayani pengunjung yang ingin menikmati makanan dan oleh-oleh tradisional khas Afrika Utara dan Timur Tengah.
Semua fasilitas yang ada terdapat dalam kompleks masjid bisa dibilang mewakili peradaban Islam yang membentang dari Turki hingga Cordoba di Spanyol. Satu contoh misalnya, pengunjung kompleks masjid ini juga bisa menikmati cara relaksasi ala Turki. Selanjutnya, pengunjung juga bisa menikmati kuliner Afrika Utara yang beragam. Mulai dari Tadjine, sajian ayam khas Maroko, daging domba dan menu istimewa lain yang patut dicoba. Fasilitas kemudian disempurnakan dengan suasana yang sejuk dan apik berupa pepohonan dan kolam air.
Tak heran ketika hari biasa, masjid penuh dengan ratusan jamaah yang datang. Di pintu utama yang berada di ruas jalan George Deplas, banyak jamaah yang melakukan doa khusus ketika hari ketiga Idul Fitri. Di pintu lainnya dari kompleks masjid yang dekat dengan ruas jalan Geroffroy Saint Hilaire tampak terlihat siswa yang sekedar bersantai sembari menikmati teh dan menghisap Shisa. Di pintu itu pula tampak antrean jamaah yang sedang mengantri untuk menikmati kue manis asal Timur Tengah. Antrean tidak hanya diisi warga Muslim, warga Non Muslim juga ikutan mengantri.
Salah seorang warga Paris yang sempat berkeliling mengunjungi masjid tertua di Cina dan Iran mengaku dirinya sangat terkesan dengan masjid tua Paris. Baginya, Masjid di Paris merupakan kesaksian nyata kerjasama Pemerintah Prancis dan negara-negara Muslim sekaligus merupakan pembangunan yang menyimbolkan penghormatan 100 ribu tentara Muslim di zaman kejayaannya yang meninggal dalam perang dunia pertama. Masjid kian sakral dengan posisinya yang berada di salah satu jantung peradaban Barat yang gemilang.