REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006 menjadi undang -undang. Hal itu dilakukan untuk guna mencegah anarkisme dan pemaksaan kehendak secara tidak proporsional dan mengundang campur tangan asing.
Menurut Sekjen MUI, Ichwan Syam, PBM tersebut tak perlu direvisi karena aturan ketentuan saat ini yang termaktub paling moderat. "Kewajiban masing-masing pihak untuk menaati peraturan yang berlaku," ujarnya saat menggelar konferensi pers di Gedung MUI, Jakarta, Kamis (23/9).
Ichwan mengatatakan, secara konstitusional Indonesia sebagai bangsa yang telah memiliki peraturan perundangan-undangan, menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan baik agama, suku maupun etnis. Keberadaan PBM merupakan kesepakaan nasional yang disepakati bersama oleh Majelis-majelis Agama.
Oleh karena itu, seyogyanya majelis-majelis itu juga sepakat melaksanakan dan menaati PBM. Hal ini penting, sebagai konsekuensi nilai-nilai demokrasi menuju bangsa yang bermartabat.
Ichwan mengemukakan, sayangnya ada pihak yang memanfaatkan insiden yang terjadi pada Huria Kristen Batak Protestan Pondok Timur Indah (HKBP-PTI) untuk memecah belah antarumat beragama. Akibatnya bisa mencedarai kehidupan kerukunan umat beragama.
Karena itu, MUI mendesak aparat penegak hukum agar mengusut tuntas aktor intelektual di belakang konflik tersebut. "Indonesia sebagai surga kebebasan beribadah bagi umat beragama jangan ada dusta di antara kita," kata dia.
Ketua MUI, Amidhan Saberah mengatakan provokator dari insiden tersebut menginginkan peristiwa tingkat lokal bisa menjadi masalah internasional. Berbagai upaya sengaja dilakukan agar kejadian ini tercium oleh dunia internasional termasuk menggunakan media massa untuk memutarbalikkan fakta.
Padahal, peristiwa ini hanya terjadi di tingkat kecematan dan semestinya bisa diselesaikan di tingkat lokal. Kebuntuan solusi diakibatkan salah satu pihak memaksakan kehendak yang sengaja membuat masalah ini menjadi kejadian luar biasa.
Amidhan menuturkan pencabutan izin pendirian rumah ibadah yang tertuang dalam PBM akan menimbulkan masalah dan konflik lebih besar. Pasalnya, masalah agama di Indonesia memiliki sensitifitas tinggi sehingga perlu aturan yang mengikat semua pihak.
Saat ini yang dituntut dari masing-masing agama adalah konsistensi menjalankan PBM tersebut. Sebab, persoalan yang muncul baru-baru memunculkan kesan pengekangan hak dan kebebasan menjalankan ibadah.
Padahal, antara kebebasan beragama dan masalah pendirian tempat ibadah, adalah dua hal yang berbeda. Namun demikian, MUI meminta semua pihak menjauhi tindakan anarkis dan menyerahkan penyelesainnya kepada pemerintah dan pihak berwajib. "Tindakan anarkis dan kekerasan kontraprodukti harus dihindarkan," tegas Amidhan.