REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kepala perwakilan BPK Jabar Gunawan Sidauruk mengungkapkan, hubungan dengan staf BPK selama ini sebatas sebagai narasumber. "Semua permohonan jadi narasumber melalui saya. Pernah Suharto jadi narsum di Pemkot Bekasi. Setiap jadi narsum pasti ada honornya. Tidak pernah ada perubahan opini sama sekali," ungkapnya saat menjadi saksi di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Senin (4/10).
Di sisi lain, ia membenarkan adanya pertemuan dengan staf BPK di Bandung. "Saya tidak tahu sama sekali urusan uang Rp 400 juta. Benar ada pertemuan dan walikota inginkan WTP," imbuhnya.
Masalah pemberian status itu pun akhirnya diputuskan dengan catatan membereskan administrasi aset. Saya, lanjutnya, tidak menyarankan mempersiapkan uang. "Secara resmi belum diberitahukan ke hingga sekarang hasilnya," jelas Gunawan.
Sedangkan Makbullah menjelaskan, sebelum penyerahan uang itu, ada surat undangan dari kepala inspektorat untuk para SKPD. Setelah dilaporkan, Makbullah berunding dengan empat rekannya. Masing-masing sepakat memberi Rp 5 juta dari kantong pribadi. "Akhirnya kita urunan dari uang pribadi Rp 20 juta. Laporan sekretaris saya untuk pembinaan BPK. Ini loyalitas kita saja. Uang diserahkan oleh staf saya ke ajudannya pak Sekda," ungkapnya.
Uang itu pun diakui Isnaeni diterimanya. "Saya terima saja dari SKPD. Yang menyerahkan 19 orang. Seluruhnya diserahkan ke Pak Sekda," ujarnya. Jumlahnya mencapai Rp 325 juta.
Kasus ini bermula pada akhir Desember 2009. Bertempat di ruang rapat Walikota Bekasi, Mochtar Muhammad. Walikota pernah menyampaikan kepada anak buahnya bahwa pihak Pemkot bisa mendapatkan insentif dari Departemen Keuangan sebesar Rp18 miliar jika laporan keuangannya mendapatkan penilaian Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Insentif akan lebih besar jika Pemkot mendapat WTP.
Dari dakwaan, diketahui petinggi pemkot Bekasi itu meminta kepada para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk berpartisipasi agar pemeriksaan tahun 2009 mendapat WTP. Lalu pada medio Januari 2010, sesuai arahan Mochtar Muhammad, Herry Lukmantohari bersama Sekda Pemkot
Bekasi Tjandra Utama Effendi menemui staf BPK Suharto dan Enang di kantor perwakilan BPK Provinsi Jabar membahas permintaan WTP. Pada Februari 2010, Mochtar didampingi Lukmantohari bertemu Kepala perwakilan BPK Jabar Gunawan Sidauruk menanyakan apakah Bekasi bisa mendapat WTP atau tidak. Saat pertemuan, Gunawan menyanggupinya dengan syarat administrasi pembukuannya dibereskan. Sebab, saat itu Pemkot Bekasi belum melengkapi administrasi laporan keuangannya.
Di persidangan lain, penuntut umum Ketut Sumedana memaparkan, penyerahan uang diberikan secara bertahap. Uang tahap pertama senilai Rp200 juta diberikan oleh kedua terdakwa Lukmantohari dan Suparjan bersama Candra di rumah makan Sindang Reret, Jalan Suropati Bandung. Uang terdiri dari pecahan Rp100 ribu itu dibungkus dalam kantong kertas. "Pemberian dilakukan oleh terdakwa II di dalam mobil merek Vios warna silver bernomor polisi B 8432 Z milik Suharto," ujarnya.
Atas perintah Candra, lanjut Ketut, sisa uang Rp200 juta kemudian diberikan kedua terdakwa kepada Suharto. Uang diserahkan di rumah dinas Suharto yang beralamat di Jalan Lapangan Tembak Suka Senang, Bandung. Terdakwa Lukmantohari meletakkan tas hitam berisi uang Rp 200 juta di bawah meja tamu. "Saat meninggalkan rumah Suharto, kedua terdakwa ditangkap oleh petugas KPK demikian juga Suharto berikut barang bukti tas yang berisi uang Rp 200 juta," katanya.
Berdasarkan serangkaian perbuatan tersebut, kedua pejabat Pemkot Bekasi itu diancam pidana dengan dakwaan primair Pasal 5 ayat 1 huruf a dan dakwaan subsidair mengacu kepada Pasal 13 dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan untuk kedua auditor BPK yang diduga menerima suap, Suharto dan Enang Hermawan, didakwa dengan dakwaan primair Pasal 12 huruf a, subsidair pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seluruh ancaman penjaranya paling lama lima tahun.