Kamis 04 Nov 2010 12:00 WIB

Cerita Kelam dari Negeri Bernama Afghanistan

Rep: Agung Sasongko/ Red: irf
Pemandangan Kota Kabul, ibukota Afghanistan
Foto: ap
Pemandangan Kota Kabul, ibukota Afghanistan

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL--Afghanistan, negeri yang berlokasi di Asia Barat ini sedari awal harus menerima kenyataan pahit lantaran rutin dianeksasi negara lain. Afghanistan secara bergantian diduduki kekaisaran Persia, Macedonia dan Kekalifahan Abbasiyah. Di era modern, tentara merah Soviet dengan wajah tegak mencaplok Afganistan guna dijadikan satelit mereka di Asia Barat.

Beruntung, tentara merah kehabisan biaya untuk menangani militan-militan Afghanistan yang disponsori AS. Tentara merah pergi, tentara Paman Sam datang dengan agresif. AS datang menuntut nyawa yang melayang dalam tragedi 11 September 2001.

Selama dua dekade terakhir, militan yang dibentuk tahun 1990 ini berhasil mengakhir perang saudara yang pahit. Berkat dukungan Pakistan, Taliban berhasil menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan. Tahun 2001 mereka diusir secara paksa oleh AS. Hal mengejutkan, perlahan tapi pasti Taliban kembali tumbuh. Faktanya, Taliban berhasil menguasai sebagian besar Afganistan selatan dan timur semenjak pemerintahan buatan AS berdiri.

Salah seorang Komandan di Marja, selatan Afghanistan, mengatakan dirinya telah bertempur melawan tentara kependudukan di banyak tempat. Sayangnya, kebiasaan doyan perang Taliban dinilai masyarakat barat menghadirkan prilaku tak terpuji berupa sikap sewenang-wenang terhadap warga sipil. Penguasa Taliban yang tahu persoalan itu segera bertindak dengan merotasi perwira mereka guna mencegah sifat serakah dan zalim kepada warga setempat.

Prilaku itu memang bukan tanpa alasan. Obsesi untuk mengulang kembali keberhasilan mengusir tentara asing menjadi musababnya. Salah seorang komandan lain dari wilayah Gereshk menyatakan tentara Taliban berkomitmen untuk membersihkan Afghanistan dari pasukan asing dan merebut kembali kekuasaan. Dia mengaku penguasa Taliban selalu memberikan dana dan senjata guna bersembunyi di Pakistan ketika tentara NATO dan sekutu pimpinan AS melakukan aksi sapu bersih.

Jadi, salah bila AS mengklaim mereka telah mengkontrol penuh Afghanistan selatan dari tangan Taliban. Pasalnya, komandan tersebut mengatakan bertambahnya pasukan AS dan NATO ke selatan tidak menjamin kawasan Gereshk dikuasai. "Di luar kota adalah zona perang," katanya seperti dikutip The Economist, Rabu (3/11).

Atur hak wanita

Satu hal lain yang menjadi perhatian masyarakat Barat adalah kontrol terhadap hak wanita. Semenjak berkuasa di Afghanistan, Taliban acap kali memberlakukan aturan yang sangat ketat terhadap hak-hak wanita. Mereka melarang wanita bersekolah atau mengenakan pakaian terbuka di muka umum. Aturan itu yang melahirkan generasi pelarian. Tak sedikit wanita Afghanistan kala itu bertaruh nyawa untuk menghindari pemerintah Taliban. Bagi mereka, lebih baik mati ketimbang harus menjalani kehidupan yang statis.

"Apa lagi yang mereka butuhkan? Seorang wanita yang baik hanya membutuhkan sekolah Islam, bukan dengan pembenaran," papar salah seorang komandan. Mereka pun mengutuk warga Afghanistan yang lari ke luar negeri. Bagi mereka, pelarian itu sama saja dengan kejahatan. "Di bawah Hamid Karzai, tidak satu pembunuh pun dieksekusi di depan umum," Seru orang yang lebih senior dengan mata terbelalak. "Tidak ada perampok telah dipotong tangannya,"

Di daerah yang dikuasai Taliban, hukum Islam diberlakukan secara ketat. Walhasil, sebagian masyarakat yang berada di bawah pengaruh Barat, muak dengan aturan yang diberlakukan terhadap para pelanggaran hukum. Namun, tak sedikit pula yang mendukung pemberlakuan aturan hukum Islam secara ketat. Dukungan itu dikarenakan pemerintahan Hamid Karzai tidaklah tegas dalam menangani ragam kejahatan yang terjadi di selatan Afghanistan.

sumber : The Economist
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement