Senin 08 Nov 2010 01:53 WIB

Selenggarakan Pemilu, Myanmar Hanya Cari Legitimasi

Pemilu Myanmar
Foto: DPA
Pemilu Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON--Myanmar gelar pemilu parlemen 7 November 2010. Ini adalah pemilu pertama sejak 20 tahun terakhir. Rezim militer menjatahkan seperempat kursi parlemen khusus bagi angkatan bersenjata.

Pada pemilu terakhir di Myanmar tahun 1990, militer kalah berat. Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dikenai tahanan rumah. Sejak itu rezim milter memerintah dengan tangan besi. Untuk memastikan kekuasaannya, para jenderal kali ini mencalonkan diri dan menjatahkan seperempat kursi parlemen khusus bagi militer serta menentukan persyaratan super ketat bagi keikutsertaan oposisi.

Perekonomian Myanmar berantakan. Kebanyakan penduduknya miskin, dan tidak ada sistem kesehatan serta pendidikan yang berfungsi. Pelanggaran hak asasi manusia sudah merupakan keseharian. Ketika tahun 2007 biksu Buddha melakukan aksi protes secara damai terhadap kesengsaraan di negeri itu, aksi tersebut dipatahkan dengan kekerasan berdarah.

Pemimpin proyek Myanmar pada Yayasan Jerman Friedrich Ebert Stiftung, Henning Effner mengatakan, dasar legitimasi rezim militer Myanmar semakin menurun. Inilah yang mendasari  merupakan satu alasan pemilu digelar. "Militer berkuasa sejak sekitar 20 tahun melalui dekret. Pemilu memberikan peluang bagi penguasa militer untuk mendapatkan legitimasi demokratis dan ini dapat dijadikan perisai dalam menghadapi kritik internasional."

Pemilu dikatakan merupakan langkah junta militer menuju yang disebutnya demokrasi berdisiplin. Namun pada kenyataannya langkah ini sangat sedikit berhubungan dengan demokrasi, tambah Effner. Misalnya pada proses pemilu. Dari pendaftaran partai, nominasi kandidat sampai masa kampanye, militer melakukan pengawasan ketat dan sama sekali tidak adil dan bebas.

Undang-undang pemilu juga melumpuhkan oposisi. Siapa yang pernah dipenjara, tidak boleh mengikuti pemilu. Artinya, pemimpin partai oposisi terbesar, Aung Sa Suu Kyi yang sejak 20 tahun ditahan, tidak diizinkan mencalonkan diri. Belum lagi lebih dari 2.000 tahanan politis lainnya. Liga Nasional bagi Demokrasi NLD memutuskan tidak mau mengikuti pemilu untuk bersolidaris dengan Aung dan menyerukan pemboikotan pemilu. Setelah itu NLD dilarang.

Sedangkan partai-partai oposisi yang kecil juga mendapat hambatan. Pasalnya, setiap kandidat harus membayar uang pendaftaran sebesar 500 dolar AS. Jumlah ini melebihi gajih rata-rata per tahun warga Myanmar. "Bila dihitung keseluruhan, untuk mengajukan kandidat bagi semua kursi parlemen, uang pendaftaran yang diperlukan berjumlah sekitar 600.000 dolar AS. Ini tidak mungkin dapat dibayar oleh satu partai oposisi pun," tambahnya.

Karena itu, partai-partai oposisi hanya mencalonkan jumlah terbatas, di banyak daerah pemilihan bahkan sama sekali tidak mengajukan kandidat. Tambahan lagi, kebebasan berpendapat dan berkumpul sangat dibatasi.

Tetapi, kubu oposisi yang lemah, terpecah tetapi setia pada rezim militer, misalnya  Union Solidarity and Development Party USDP dan National Unity Party NUP, mendapat perlakuan berbeda.

Tahun 2008, militer Myanmar mengesahkan konstitusi yang mendasari pemilu ini. Tetapi parlemen yang akan terpilih dan terdiri dari dua majelis, tetap akan dikuasai angkatan bersenjata. Misalnya dengan menjatahkan seperempat dari jumlah keseluruhan kursi parlemen hanya untuk militer. Dengan begitu, di parlemen, militer dapat memblokir perubahan konstitusi.

Berbagai organisasi HAM dan pemerintahan di dunia mengkritik pemilu Myanmar yang sama sekali tidak bebas dan adil itu.

sumber : Deitsche Welle
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement