REPUBLIKA.CO.ID, YANGON--Aksi protes yang dilancarkan sejumlah aktivis demokrasi Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi terhadap hasil pemilu 7 Desember lalu, dapat mengancam Suu Kyi kembali dijebloskan ke dalam tahanan oleh junta militer setempat.
Peringatan yang disampaikan junta militer, Selasa (16/11) itu merupakan akibat dari terjadinya perselisihan faham antara kedua pihak yang berbeda pandangan tersebut. Padahal Suu Kyi baru saja dibebaskan junta dari status tahanan rumah sabtu pekan silam.
Aktivis peraih hadiah Nobel Perdamaian 1991 itu harus mampu menyeimbangkan antara kepentingan perjuangan demokrasi bagi negaranya dengan sikap pemerintah yang dapat menangkapnya setiap saat.
Suu Kyi dikabarkan telah melayangkan surat protes secara resmi ke pengadilan tinggi negara itu terkait pengembalian hak politik partainya. Lantaran Junta militer telah mencabutnya awal tahun ini karena dianggap tidak mendaftarkan diri setelah tidak mengikuti pemilu lalu yang dianggap banyak pihak tidak adil dan jujur.
Suu Kyi berencana untuk melakukan penyelidikan bersama sejumlah pihak terhadap dugaan kecurangan atas hasil pemilu tersebut. Suu Kyi menyebutkan meski partainya berencana mengeluarkan laporan penyelidikan tersebut, namun pihaknya tidak bermaksud memprotes hasil pemilu dimana partainya tidak terlibat.
Tampaknya, upaya Suu Kyi itu mendapat jawaban tegas dari Komisi pemilihan setempat yang menyebutkan setiap partai yang mengajukan protes terkait pemilu akan mendapatkan sanksi tegas. Komisi tersebut juga menyebutkan, siapapun yang bermaksud memperkarakan masalah pemilu itu dapat dikenakan hukuman tiga tahun penjara, denda 300 dolar AS atau kombinasi keduanya.
Suu Kyi kabarnya juga akan bertemu dengan pemimpin junta, Jenderal Than Shwe untuk membahas masalah tersebut. Apabila terjadi pertemuan itu adalah yang pertama sejak 2002 silam. "Kami harus bicara dan menyampaikan segala persoalan dengan sopan, bukan sekedar minum teh atau basa basi," kata Suu Kyi dalam sebuah wawancara dengan Washington Post, Rabu (17/11).
Meski hasil sepenuhnya pemilu Myanmar belum ketahui secara pasti, namun kabar yang tersiar sejauh ini menyebutkan partai dukungan junta militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) berhasil meraih kursi mayoritas di dua lembaga parlemen negara itu. Banyak kalangan menuding pemilu tersebut sengaja diciptakan untuk melestarikan kekuasaan junta militer yang telah berkuasa dalam lima dekade.
Pemilu itu sendiri adalah yang pertama digelar di Myanmar setelah negara bekas jajahan Inggris itu menggelar pemilu terakhir kali 1990 silam yang dimenangkan partai pimpinan Suu Kyi, Liga nasional untuk Demokrasi (NLD).
Ironisnya, meski meraih kemenangan Suu Kyi tak pernah mengenyam kekuasaan sebagai pemimpin Myanmar. Aktivis berusia 65 tahun itu justru harus puas mendekam di rumah dengan status tahanan selama 14 tahun terakhir.