REPUBLIKA.CO.ID, ALMETYVSK, RUSIA--Sarachev adalah keturunan Tatar. Nenek moyangnya beralih memeluk Islam pada abad ke-9, ketika Tatarstan masih menjadi negara kuat yang memiliki hak-haknya sendiri. Di masa silam, selama 450 tahun kaum Tatar di bawah dominasi Rusia, bangga dengan warisan leluhur. Mereka menganggap diri mereka pemimpin alami Muslim Rusia berjumlah 30 juta orang.
Namun nenek moyang Sarachev tidak mempraktekan Islam dalam cara yang ia pahami saat ini. Selama satu milenium, Tatar mengembangkan teologi yang kaya namun juga rumit. Konsep itu nyaman sejalan dengan pemikiran yang dibutuhkan untuk hidup berdampingan bersama Kristen Rusia. Di Kazan, ibu kota Tatarzan, budaya koeksistensi hasil pemikiran masa lalu itu masih bisa dijumpai hingga kini.
Hanya saja, sikap Soviet yang memusuhi dan membenci agama membuat sebagian Tatar saat ini cenderung acuh tak acuh dengan warisan Islam sendiri, bahkan sebagian cenderung tak beragama Ketika tumbuh besar, Sarachev mengingat, agama berarti para kakek dan nenek serta libur hari raya. Ia sendiri tak pernah menjalankan ibadah Islam.
Ketika Soviet jatuh, pendakwah Arab masuk ke Tatarstan. Mereka berkotbah tentang Islam, sebagai agama yang lebih dingin, kaku, sederhana dan lebih puritan. Ajaran itu malah berakar di kawasan itu dan terlihat menguasai kaum muda. Keruntuhan Soviet pula yang membuat rakyat Tatar yang sebelumnya Islam beralih ke Kristen, kembali lagi ke memeluk Islam.
Penerimaan yang Lambat
Almetyevsk, sebuah kota berpenghuni 150 ribu orang yang didirikan pada 1955. Bukan kemiskinan materi yang mendorong pemuda Tatar kepada Islam. Pasalnya keberadaan minyak dan gas membawa kesejahteraan mencolok. Adalah kemiskinan spiritual negara itu, di mana setiap insitusi mulai sekolah, rumah sakit hingga polisi dijerat dengan sinisme dan korupsi yang membuat penduduknya tertarik dengan agama.
Orang tua Sarachev bercerai ketika ia masih sangat muda. Ibunya bekerja di pabrik pipa. Sarachev kini juga bekerja di sana, sebagai operator pompa hidrolik. Ia masih tinggal di apartemen ibunya.
Ketika ia mulai bersungguh-sungguh memeluk Islam, ia belajar bahwa setiap orang lahir dengan iman dari dalam dan orangtualah yang menjauhkan anak-anak mereka dari agama. "Tidak berarti orangtua kita langsung," imbuhnya. "Itu bisa juga metafora dari masyarakat."
Namun sedikit mengherankan ketika ibu dan ayahnya ternyata tidak suka dengan kesadarannya barunya dalam beragama--bila tak bisa dibilang keyakinan baru. Mereka juga tak suka dengan penolakan Sarachev terhadap budaya yang mereka jalani selama ini.
"Mereka tidak paham," tuturnya. "Mereka bertengkar dan berdebat. Mereka, tentu selalu sangat marah ketika saya pulang ke rumah larut dan mabuk, tapi ini mengherankan" kata Sarachev.
Begitu mereka melihat putranya menghentikan kebiasaan buruk, mereka mulai memperhatikan dan bertanya-tanya. Kini, ketika ibunya melihat Sarchev shalat di rumah, ia akan menutup pintu kamarnya dengan sikap tak peduli. Sang ibu juga menolak tegas diwawancarai dalam cerita ini.
Namun, tahun ini pada 2010, adalah pertama kali mereka memberi Sarachev uang untuk membeli domba bagi hari raya kurban, Idul Adha. Domba-domba, lebih dari 600 ekor, diikat di tiang-tiang kayu sekitar masjid. Setiap hewan yang disembelih dikuliti dan dagingnya dibagi menjadi tiga bagian yang sama, satu untuk pihak yang berkurban, satu untuk kerabat dan satu bagian lagi disumbangkan bagi kaum papa.
Mereka yang memotong dan mencabik Muslim menjadi tiga bagian jauh lebih buruk dari mereka yang memotong domba menjadi tiga bagian," demikian ujar Imam masjid, Nail Bin Ahmad Sakhibzyanov, dalam kotbah yang sempat didengar Sarachev. Ia pun pulang dengan gembira dan bangga dengan keyakinannya. Itu adalah pemotongan hewan kurban terbesar yang pernah ada di Almetyvsk