REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO--Ratusan ribu warga Mesir turun ke jalan, Selasa, sebuah pemandangan yang tidak pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah modern negara itu, seraya serentak menyeru agar Presiden Hosni Mubarak dan pemerintahnya mundur. Janji pihak angkatan bersenjata untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap para demonstran mendorong warga Mesir untuk lebih menekan dalam goncangan politik terbesar sejak 1952 ketika perwira militer menggulingkan Raja Farouk.
Lebih dari 200.000 warga Mesir memadati Bundaran Tahrir di pusat kota Kairo dan 20.000 berjalan kaki di Suez beserta sejumlah laporan protes yang juga terjadi di kota-kota lain seperti Alexandria. "Mubarak pergilah ke Arab Saudi atau Bahrain" dan "Kami tidak menginginkan kehadiranmu, kami tidak menginginkanmu," merupakan suara teriakan dari pria, wanita, serta anak-anak yang membaur dalam lautan massa yang mulai berkumpul sejak dini hari.
Pemandangan di Bundaran Tahrir, yang merupakan pusat aksi protes terhadap kemiskinan, penindasan dan korupsi, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada Jumat ketika polisi memukuli, menembakkan gas air mata dan menyemprotkan meriam air kepada pemrotes. Telah ada sejumlah kabar yang menyebutkan bahwa para demonstran yang meneriakkan "Revolusi, Revolusi, hingga menang," itu akan berjalan menuju istana kepresidenan pada Selasa namun hingga pagi hari kerumunan massa tersebut belum bergerak dari kawasan itu.
Pada awalnya tidak terorganisasi, aksi protes terhadap Mubarak tersebut secara bertahap menyatu menjadi sebuah gerakan reformis yang meluas ke seluruh kelompok di masyarakat Mesir.
Kalangan pengangguran muda bergabung dengan anggota pergerakan Islam "Persaudaraan Muslim", dan masyarakat miskin pedesaan bergandengan tangan dalam solidaritas bersama para dokter dan guru.
"Kami menyerukan sebuah penggulingan rezim. Kami memiliki satu tujuan dan itu adalah menurunkan Hosni, tidak ada yang lain. Politisi kami harus maju dan membentuk koalisi dan komite untuk mengajukan sebuah pemerintah baru," kata Ahmed Abdelmoneim (25) yang merupakan ahli komputer.
MUBARAK ABSEN
Mubarak belum menyampaikan lagi pernyataannya ke publik sejak Jumat, ketika ia membubarkan kabinet. Pada Senin, hanya wakil presidennya yang baru diangkat, Omar Suleiman, yang mengumumkan seruan untuk dialog dengan semua kekuatan politik. Sebuah aroma kemenangan bagi demonstran. "Revolusi tidak akan menerima Omar Suleiman, bahkan hanya untuk periode transisi. Kami ingin seorang pemimpin baru yang demokratis," kata Mohamed Saber, seorang anggota Muslim Brotherhood.
"Kami sudah sangat sabar, kami tidak dapat bertahan lebih lama lagi ... Selama 30 tahun terakhir rezim ini telah membawa keburukan bagi semua orang. Kini semuanya bersuara, sebelumnya semua hanya takluk pasif," kata Mahmoud Ali (42), seorang pegawai negeri sipil.
Apa yang terjadi terhadap Mubarak bila ia mengundurkan diri masih belum jelas. Oposisi Mesir telah terfragmentasi dan dilemahkan pada masa pemerintahan Mubarak. Persaudaraan Muslim memiliki jaringan akar rumput terbesar dengan proyek kesehatan dan kegiatan sosial lainnya.
Kelompok itu dilarang berpolitik oleh Mubarak karena dianggap ingin membentuk negara Islam, pluralis, dan demokratis.
"Negara kami memiliki banyak orang yang mampu menjadi presiden," kata Essam Kamel (48) seorang pengacara, walaupun ia mengatakan ia tidak setuju dengan pemenang Nobel Perdamaian Mohamed ElBaradei, yang telah menyatakan kesiapannya memimpin periode transisi. Namun Kamel mengatakan,"Kami adalah Muslim, kami tidak membutuhkan pemerintahan Islami".