REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Gelombang people power menggelinding mulai dari Tunisia, lalu ke Mesir, dan kini menggoyang rezim negara-negara Arab lainnya di Timur Tengah. Demokratisasi -sesuatu yang dikampanyekan Amerika Serikat dan Barat ke berbagai Negara- tampaknya sudah sulit direm. Namun, seperti buah simalakama, demokratisasi di Timur Tengah sepertinya tidak terlalu dikehendaki AS dan sekutunya. Pasalnya, mereka selama ini memelihara dan menikmati rezim otoriter di dunia Islam, supaya kepentingannya terjaga. Berikut pandangan pengamat internasional Dewi Fortuna Anwar tentang ini:
Anda melihat dampak besar reformasi di Mesir terhadap demokratisasi di Timur Tengah?
Demonstration impact di Mesir, yang mendorong suatu perubahan, itu sudah terjadi. Ini meniru Tunisia. Kemudian menginpirasi Yaman, Iran, dan negara tetangga lainnya. Ujungnya berbeda-beda. Negara yang ingin menghindari kejatuhan pemerintah seperti di Mesir mungkin akan lebih proaktif dan tidak represif terhadap demonstran.
Bisa Anda sebutkan negara di Timur Tengah yang sudah atau mulai terpengaruh dampak Mesir?
Raja Abdulah di Yordania cukup cepat membuat kebijakan populis dan mengganti perdana menterinya. Di Arab Saudi sudah ada pergerakan, ketika seseorang menulis kepada raja untuk minta izin membentuk satu partai -- hal yang selama ini tidak pernah terjadi. Perempuan di Arab juga meminta haknya yang lebih luas. Di Suriah, presidennya berbicara kalau pemerintah harus mendengar suara rakyat.
Dalam hal ini ada dua sikap dari pemerintah di sana. Sikap pertama, reaksioner seperti Mubarak yang ingin bertahan tapi akhirnya terjungkal. Sikap kedua, untuk menghindari dipaksa turun, mereka justru berusaha melakukan reformasi dari atas. Ini gejala yang positif. Jadi, akan lebih baik kalau perubahan itu lebih terencana, sistmeatis, dan tidak harus menyebabkan konfrontasi dengan rakyat.
Seberapa besar pengaruh gerakan masyarakat yang terjadi di Timur Tengah terhadap masuknya demokrasi di kawasan tersebut?
Kayaknya tidak bisa digeneraliasi. Negara yang cukup kaya, kaya minyak, selama ini bisa menekan aspirasi politik dengan memberikan kebutuhan social-ekonomi rakyat. Rakyat menjadi cukup senang.
Kalau kita lihat sekarang, terjadi revoluasi telekomunikasi dan informasi. Negara kaya juga kesulitan untuk menutup akses informasi terhadap dunia luar. Perubahan pikiran sulit dicegah. Ini merupakan keniscayaan. Masyarkat sering belajar, membandingkan yang di luar dan di dalam.
Kalau ada aspirasi yang tersumbat, pemerintah tidak aspiratif, negara tetangga memberi contoh untuk bertindak. Seperti saat Uni Soviet jatuh dan negara pecah, ketika itulah demokrasi lahir di Eropa Timur.
Lalu, apakah dengan kejadian di Mesir, demokrasi ini bisa masuk ke dunia Arab?
Saya masih agak ragu-ragu. Sejauh mana demokratisasi di Mesir itu bisa sustainable (berkelanjutan) untuk membangun masyarakat yang demokratis dan madani. Yang terjadi di Mesir itu berbeda dengan di Indonesia.
Banyak yang membandingkan Husni Mubarak mirip dengan jatuhnya Soeharto. Tapi, Soeharto jatuh, yang mengambil itu sipil. Dalam perubahan konstitusional, walaupun tidak puas dengan DPR/MPR, tapi mereka (sipil di Indonesia) diberi kesempatan melakukan reformasi secara gradual. Pemerintahan tidak dipegang militer. Militer tidak dipercaya untuk memegang demokrasi. Sedanghkan di Mesir, militer yang justru dipercaya untuk proses transisi. Sementara dalam sejarah dunia, militer bukan agen yang bisa dipercaya untuk demokrasi.
Pada 1965 dan 1966, masyarakat sipil dan mahasiswa Indonesia bekerjasama dengan militer untuk menjatuhkan Soekarno yang terlalu lama berkuasa. Pada awalnya militer terbuka dan demokratis, tapi lama kelamaan justru membangun pemerintahan militer lebih dari tiga dekade. Kemudian lingkungan global juga berubah. Tahun 1966 itu kemenangan kudeta militer di mana-mana.
Apakah kondisi sekarang kondusif untuk berjayanya rezim militer?
Sekarang lingkungan global didominasi upaya perubahan masyarakat demokratis. Tapi, bagaimanapun, pengaruh global itu satu aspek, kekuatan dalam negeri yang menentukan.
Masing masing negara memiliki karakterisitk sendiri. Kita harapkan Mesir bisa berhasil. Mereka tidak kekurangan cendekiawan, asal mereka bisa sepakat dan melakukan konsensus nasional. Sepakat dalam melakukan amandemen, misalnya.
Jadi, ada harapan untuk berkuasanya non-militer di Mesir?
Saya kira mereka akan berhasil. Tapi apakah kemudian akan diikuti negara lain, tergantung komposisi sosial masyarakat. Kalau masyarakatnya masih tradisional dan feodal, itu agak sulit membangun demokrasi.
Perubahan di satu pihak adalah suatu keniscayaan, semua ingin mendorong perubahan. Tapi apakah negara akan membangun demokrasi yang sustainable, itu membutuhkan syarat yang lebih banyak.
Kalau hanya meruntuhkan militer tapi tidak kuat masyarakat madaninya, tidak ada kesamaan dasar negaranya, tidak kuat rule of law-nya, akan terjadi siklus: Pemerintahan otoriter runtuh, terjadi kekacauan, muncul pemerintahan otoriter baru, akan begitu seterusnya.
Apakah asing memberikan pengaruh terhadap masuknya demokrasi di Timur Tengah?
Amerika justru serba salah. Kalau di negara lain, Amerika mendorong demokrasi. Kalau di Timur Tengah, mereka khawatir demokrasi yang mendatangkan pemerintah populer yang tidak sejalan dengan kepentingan Washington. Jadi di sini mereka tidak seantusias mendorong demokrasi di Myanmar atau di Iran. Gerakan demokrasi justru datang dari masyarakatnya.