REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai politik yang semakin berkembang dituntut melakukan perubahan, yaitu tidak lagi menjadi partai yang tertutup tetapi menjadi partai yang lebih terbuka, khususnya terhadap berbagai budaya. "Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak boleh berhenti mengubah diri menemukan formula yang tepat. PKS harus berusaha sekuat tenaga untuk bisa terbuka, khususnya terhadap berbagai budaya," kata Budayawan Emha Ainun Nadjib di Yogyakarta, Rabu (23/2).
Usai menjadi pembicara pada seminar nasional yang digelar sebagai rangkaian acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS itu, Emha pun menganalogikan kondisi yang dihadapi PKS tersebut sebagai sebuah pilihan di antara tiga hal yaitu keraton, masjid atau pasar. "Apakah akan memilih kekuasan, hanya berkutat di masalah kerohanian atau mengingingkan kekuatan di bidang ekonomi?. Ini yang perlu dipikirkan oleh PKS di masa yang akan datang," katanya.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga tampil sebagai pembicara pada seminar tersebut Zainal Arifin Mochtar juga menyampaikan harapan agar PKS mampu menjadi partai oposisi. "Namun, oposisi tersebut harus dibangun dengan takaran yang tepat. Saat ini, saya melihat PKS masih berdiri di antara dua kursi," katanya.
PKS, lanjut dia, tidak hanya berjuang untuk diri sendiri tetapi juga untuk negara demi membangun sistem yang demokrastis. Sedangkan pengamat politik yang juga peneliti senior di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi menilai bahwa PKS sebagai partai perlu terus mendorong dan terlibat dalam pembenahan politik.
"PKS, dimanapun berada harus bisa mendorong munculnya pemikiran atau tokoh yang bisa memberi bayangan pedoman tata kelola kekuasaan di Indonesia," katanya yang menyebut salah satu permasalahan politik di Indonesia adalah politik uang.