REPUBLIKA.CO.ID-Sepak bola tidak hanya sekadar olah raga. Sepak bola adalah industri yang mampu menghadirkan uang, pencitraan, maupun promosi terbaik bagi tiap pengusaha di seluruh dunia. Analisis yang diungkapkan Economy Watch itu tidak terlepas dari kondisi industri sepak bola kini yang dihiasi serbuan taipan papan atas dunia.
Tidak hanya pengusaha macam Roman Abramovic, Malcom Glazer, ataupun Sheikh Maktoum yang menhiasi jagat industri lapangan hijau. Sejumlah politisi dunia juga menghabiskan sejumlah waktu dan terutama pundi kekayaannya untuk mengasuh klub sepak bola.
Presiden Libya Muamar Qadafi mungkin melihat contoh langsung pada diri sahabatnya, Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi. Tak bisa dipungkiri, karier poltik Berlusconi bisa berjalan mulus berkat kepemilikannya atas klub langgaran juara Liga Italia, AC Milan.
Maka, pada Januari 2002, Qadafi pun mengikuti peruntungan Berlusconi dengan membeli saham klub yang telah meraih 27 gelar juara Liga Italia, Juventus. Penguasaan Qadafi atas Juventus mulanya memang tidak besar, hanya 5,31 persen atau senilai 23 juta euro kala itu. Adalah perusahaan investasi Libyan Foreign Investment Company (Lafico) yang mencatatkan nama Qadafi selaku pemegang saham klub berjuluk Si Nyonya Tua itu.
Dengan bekal saham yang dibeli ketika harga saham Juventus sedang terkoreksi, sang pemimpin Libya tak hanya menikmati keuntungan politis saja. Secara ekonomis, harta kekayaan sang penguasa Libya itu--menurut harian Pan Armenian senilai 20 miliar dolar AS--ikut terkerek naik, meskipun tipis. Berdasar laporan keuangan klub, ketika Qadafi membeli Juventus tahun 2002, asetnya tercatat 244 juta euro. Setahun kemudian naik menjadi 255 juta euro.
Sejumlah prestasi berhasil diraih Juventus sejak tahun 2002, termasuk dua gelar domestik tahun 2004/2005 dan 2005/2006. Prestasi tentu saja berimbas pada pendapatan klub yang tercatat terus naik dari 175,3 juta euro di 2002 menjadi 251 juta euro di 2006.
Tahun 2006, Qadafi yang menguasai Juventus melalui anaknya Al Saadi Qadafi, telah mengantongi 7,5 persen saham. Lafico tercatat sebagai pemegang saham terbesar kedua setelah Exor SpA milik keluarga Agnelli, pemilik pabrik mobil Fiat, yang menguasai 60 persen saham Juventus. Sisa 32,5 persen saham Juventus dimiliki publik.
Pada Oktober 2006, Saadi mengatakan niatnya untuk memperbesar kepemilikan saham di Juventus walau dia tak menyebut sampai berapa besar. Ini diperkuat pernyataan salah satu pejabat sepak bola Libya yang mengklaim Qadafi akan segera memegang 20 persen saham dari klub tersukses yang mempunyai 13 juta pendukung fanatik di Italia itu. ''Dalam beberapa tahun lagi 20 persen saham Juventus akan dimiliki Lafico. Ini adalah keputusan yang baik secara bisnis,'' kata si petinggi itu kepada BBC.
Sejauh ini Qadafi tak terlihat punya agenda khusus untuk Juventus, bahkan tidak untuk kepentingan sepak bola Libya. Memang Saadi yang juga pemain bola sempat mencoba peruntungan untuk bermain di Juventus tapi gagal. Selain upaya Saadi, tak ada satu pun warna Libya di Juventus.
Namun, investasi Qadafi di Juventus tak berjalan mulus. Skandal suap untuk mengatur pertandingan yang menimpa Juventus tahun 2006 berimbas pada kerugian yang terus melanda klub itu. Alhasil, Juventus dihukum masuk ke jurang degradasi yang berimbas pada merosotnya pendapatan. Tak hanya itu, gelar juara Seri A Liga Italia musim 2004/2005 dan 2005/2006 pun dicabut.
Pada 2006, Juventus masih bisa mencatatkan pendapatan 231 juta euro yang kemudian menukik 39 persen menjadi 141 juta euro di 2007. Tahun 2008 adalah puncak kejatuhan Juventus yang meraup pendapatan 165 juta euro dengan kerugian 20,8 juta euro. Tahun 2009 kondisinya sedikit membaik dengan raihan laba bersih 6,6 juta euro.
Pendapatan Juventus perlahan-lahan pulih di 2010 menjadi 205 juta euro, masih di bawah AC Milan, yang meraup 235 juta euro. Namun, Juventus masih merugi 11 juta euro. Krisis itu juga telah menggerus aset Juventus dari 255 juta euro di 2003 menjadi 185 juta euro ketika skandal menerpa di 2006.
Merosotnya Juventus juga sejalan dengan merosotnya karier politik Qadafi yang mencapai puncaknya pada Februari 2011. Aksi massa menginginkannya mundur dari tampuk kepemimpinan Libya yang telah bertahan selama 41 tahun. Aksi yang tak terlepas dari kesenjangan ekonomi antara gaya hidup pemimpin dan rakyatnya.
Di saat Qadafi menghamburkan uang untuk membeli klub sepak bola, 11 persen rakyat Libya gigit jari dengan kemiskinan yang mereka hadapi. Dari data The Economist, Libya menempati peringkat 70 dari 111 negara bila diukur tingkat kualitas hidup masyarakatnya. Hal yang berbanding terbalik dengan kualitas hidup sang pemimpin.
Entah kebetulan atau tidak, krisis politik yang menimpa Qadafi ikut memengaruhi kinerja Juventus yang sedang terpuruk di klasemen Liga Italia. Sepanjang akhir Februari 2011, Juventus mengalami dua kekalahan beruntun yang menambah deritanya karena di saat bersamaan pendapatan turun 39 juta euro.
Angka ini tentunya membuat geram Qadafi karena nvestasinya di Juventus selama sembilan tahun ini belum pernah balik modal. Sampai kini Qadafi masih dalam posisi rugi bandar karena harga saham Juventus masih terpuruk di angka 0,89 euro. Padahal, dahulu dia membelinya ketika harga masih berkisar 3,15 euro per saham.