Senin 21 Mar 2011 06:31 WIB

Sejarah Wakaf

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Siwi Tri Puji B
Zakat. Ilustrasi
Foto: >
Zakat. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dalam ajaran Islam, wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta, Allah SWT. Wakaf secara harfiah bermakna "pembatasan" atau "larangan". Sementara berdasarkan terjemahan bebas Ensiklopedi Tematis Dunia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH), wakaf adalah menahan suatu benda yang kekal zatnya, dapat diambil manfaatnya, dan dipergunakan pada jalan kebaikan.

Karena itu, ibadah dalam bentuk mewakafkan harta tertentu tidak sama seperti derma atau sedekah biasa. Wakaf lebih besar pahala dan manfaatnya bagi diri orang yang memberikan wakaf, karena pahala wakaf itu terus-menerus mengalir kepada orang yang berwakaf selama harta yang diwakafkan itu masih bermanfaat dan dimanfaatkan orang.

Berbeda dengan zakat, ibadah wakaf hukumnya sunah, berpahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya. Di antara ayat-ayat Alquran yang mendasari ibadah wakaf adalah surat Ali Imran ayat 92 yang artinya: "Kalian sekali-kali tidak sampai pada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya."

Lalu sejak kapan ibadah wakaf ini sudah dilaksanakan? John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern menyebutkan bahwa ide wakaf sama tuanya dengan usia manusia. Para ahli hukum Islam, menurut Esposito, menyatakan bahwa wakaf yang pertama kali adalah bangunan suci Ka'bah di Makkah, yang disebut dalam Alquran surat Ali Imran ayat 96 sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun oleh umat manusia.

Dalam praktiknya, ide wakaf ini telah dikenal di masa sebelum datangnya Islam. Selama beberapa abad, kuil, gereja dan bentuk bangunan lainnya didirikan dan diperuntukkan bagi tempat ibadah. Lebih dari itu, para penguasa Mesir Kuno menetapkan tanah untuk dimanfaatkan oleh para rahib. Sedangkan orang-orang Yunani dan Romawi Kuno menyumbangkan harta benda mereka untuk perpustakaan dan pendidikan.

Tiga macam wakaf

Dalam Islam, menurut Esposito, dikenal adanya tiga macam wakaf, yakni wakaf keagamaan, wakaf derma (filantropis), dan wakaf keluarga. Sejarah mencatat, wakaf keagamaan pertama adalah Masjid Quba di Madinah. Masjid ini dibangun pada saat kedatangan Nabi Muhammad SAW pada tahun 622 M. Sampai kini masjid tersebut masih ada di tempat yang sama dengan bangunan yang diperbarui dan diperluas.

Selang enam bulan setelah Masjid Quba dibangun, didirikan pula Masjid Nabawi di tengah-tengah kota Madinah. Masjid serta tanah dan bangunan yang secara eksklusif menyediakan penghasilan untuk pemeliharaan dan pendanaan masjid, jelas Esposito, termasuk ke dalam kategori wakaf keagamaan.

Bentuk wakaf kedua adalah wakaf derma (filantropis). Wakaf filantropis ini juga sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Seseorang bernama Mukhairiq berkehendak mendermakan (mewakafkan) tujuh bidang kebun buah-buahan miliknya yang ada di Madinah, setelah dia meninggal, kepada Nabi SAW. Pada 626 M, Mukhairiq meninggal dunia. Lalu Nabi SAW mengambil alih kepemilikan tujuh bidang kebun tersebut dan menetapkannya sebagai wakaf derma untuk diambil manfaatnya bagi fakir miskin.

Praktik ini diikuti oleh para sahabat Nabi dan Khalifah Umar bin Khattab. Menurut hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang disepakati oleh ulama hadits pada umumnya dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW: "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, yang aku belum pernah memiliki tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku?" Rasulullah SAW menjawab: "Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkanlah hasilnya." Lalu Umar  mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar (di sekitar kota Madinah) itu dengan pengertian tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Menjelang Nabi wafat pada tahun 632 M, banyak wakaf derma telah dibuat.

Adapun bentuk wakaf ketiga dimulai tak lama setelah Nabi SAW wafat, yakni pada masa Khalifah Umar bin Khattab (635-645 M). Ketika Umar memutuskan untuk membuat dokumen tertulis mengenai wakafnya di Khaibar, dia mengundang beberapa sahabat untuk menyaksikan penulisan dokumen tersebut.

Dalam dokumen tertulis tersebut, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Umar bahwa Umar bin Khattab bersedia menyedekahkan hasil tanah itu kepada fakir miskin dan kerabat serta untuk memerdekakan budak, untuk kepentingan di jalan Allah SWT, orang terlantar dan tamu. Wakaf jenis ini disebut dengan wakaf keluarga. Dalam hadits sahih Bukhari dan Muslim (Muttafaq 'Alaih) dikatakan: "Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan keluarganya, asal tidak untuk mencari kekayaan."

Kini ide mengenai wakaf dikenal luas dan dipraktikkan di mana-mana. Wakaf juga ditemukan di kalangan masyarakat Amerika Utara dengan nama yayasan, khususnya yayasan keagamaan dan amal. Di Amerika Serikat saja, misalnya, terdapat puluhan ribu yayasan yang menjalankan fungsi sebagai lembaga wakaf. Namun, fungsi wakaf yang dijalankan oleh yayasan-yayasan ini hanya terbatas untuk tujuan keagamaan dan kedermawanan. Yayasan-yayasan di Amerika ini tidak mengenal wakaf yang diperuntukkan bagi keluarga seseorang dan keturunannya, seperti halnya yang dikenal dalam masyarakat Islam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement