REPUBLIKA.CO.ID, Anggota Kongres AS, Peter King dari Partai Republik, membangkitkan debat nasional pekan lalu. Sesuai rencana yang ia umumkan jauh hari, ia menggelar rapat dengar pendapat (hearing) mengenai Muslim Amerika yang mengaku mengalami radikalisasi.
"Menurut saya, kita harus menghentikan politik sopan santun," ujar King pada akhir Januari lalu memberi prolog sebelum hearing kontroversial digelar.
King yang menolak menyinggung isu-isu sensitif selama hearing, dinilai telah mencela komunitas Islam karena gagal menghadirkan kasus teroris dalam jumlah besar dan menuding grup advokasi Muslim di Washington, Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR), memiliki hubungan dengan kaum ekstrimis.
"Para pemimpin Muslim Amerika yang bertanggung jawab harus menolak grup yang dengan reputasi buruk, seperti CAIR, yang dinyatakan rekan konspirasi dalam kasus pendanaan teroris yang melibatkan Holy Land Fondation," ujar King mengacu pada dakwaan pencucian uang yang dilakukan CAIR namun tidak terbukti di persidangan.
"Sangat sedikit Muslim telah melakukan ini (terorisme), dan kami secara terbuka telah mengutuk mereka," ujar Mohammad J. Akhtar, presiden Asosiasi Islam, Long Island.
"Kami selalu ingin bekerjasama dengan badan penegak hukum dan kita telah melakukan itu sejak dulu." ujar presiden Masjid Long Island, menyalahkan King atas hearing mengenai Muslim radikal.
Anggota Asosiasi Islam Long Island, yang juga disebut Selden Masjid, menyangkal legitimasi hearing. Mereka mengatakan meski AS telah dilukai sejumlah peristiwa terorisme, motivasi di balik aksi-aksi tersebut jauh melampaui segala bentuk keyakinan tertentu.
Akhtar, yang juga guru besar ilmu kimia di Universitas Stony Brook, mengaku tersinggung dengan kesimpulan King yang menyatakan semua komunitas Muslim memiliki kaitan dengan terorisme.
"Seharusnya (hearing) melibatkan setiap bentuk organisasi yang melakukan terorisme di dalam negara ini," ujar Akhtar seraya menyebut seorang pria bersenjata, Jared Lee Loughner, yang baru-baru ini menembak anggota Kongres dari Partai Demokrat, Gabriele Giffords, di Tucson, Arizona dan Seung-Hui Cho pelaku penembakan di Kampus Virginia Tech, 2007.
"Seharusnya ada dengar pendapat dari mereka semua."
Sebagai presiden IALI, Akhtar juga mengaku kerap menjadi target investigasi xenofobia. Namun ia ingin tetap sabar untuk menghilangkan kekhawatiran di tingkat anggota komunitas.
Sementara Sayeed Islam, ulama di Pusat Lintas-Keyakinan Universitas Hofstra, mengatakan struktur dan konteks hearing sangat menghasut.
"Bagaimana gagasan dan pertanyaan dalam 'hearing' dibuat sungguh tidak membantu," ujar Sayeed. Namun yang paling ia soroti adalah pernyataan plus statistik King yang sangat meragukan. "Ketika anda menarget semua masjid dan mengatakan 80 persen dari mereka sarang radikalisasi--itu tidak benar," ujarnya.
Ia pun tak menginginkan aktivitas menanyai komunitas Muslim dianggap tabu. "Tapi selama pertanyaan itu tidak mengarah ke prasangka buruk," ujarnya.
"Tidak masalah untuk bertanya, karena komunitas Muslim selama 10 tahun terkahir juga bertanya hal serupa. Kami pun mencoba menghadapi isu radikalisasi," papar Sayeed.
"Saya pikir kita telah membantu pemerintah AS. Fakta menunjukkan selama beberapa tahun terakhir, komunitas Muslim telah terlibat besar dalam membantu aparat hukum sebaik mungkin," imbuhnya.
Ia juga menyoal pernyataan King yang membandingkan hearing kali ini dengan preseden sebelumnya yang digelar untuk menginvestigasi komunitas Irlandia-Amerika, Italia-Amerika dan Afrika-Amerika menyusul peningkatan sindikat kriminal seperti Mafia dan Black Panthers.
"Fakta yang terjadi, ketika anda menyelidiki Mafia, anda membedakan Mafia dan warga keturunan Italia-Amerika, pada umumny," ujar Sayeed. "Anda tidak akan tampil di depan umum dan menyatakan 80 persen rumah tangga Italia Amerika adalah anggota Mafia."
Terlepas apa yang telah terjadi, ia mengatakan hearing itu menyimpang dari Konstitusi. "Anda tak bisa mengisolasi seluruh komunitas dengan tudingan semacam ini," ujarnya. "Jika anda memiliki kepedulian dengan rakyat itu bagus, namun anda telah mengisolasi lima juta Muslim di negara ini," imbuhnya.
"Kami Muslim, tapi kami juga warga negara ini. Kami sangat patriotik. Kami tidak ingin negara dilukai--dirusak. Kami sangat ingin membantu apa pun yang kami bisa, Kami ingin kelak meninggalkan negara ini kepada generasi berikut sebagai negara baik, sebagai negara yang aman.