REPUBLIKA.CO.ID, NARATHIWAT--Empat anggota Satuan Perlindungan Guru, Selasa (8/11) cedera dalam serangan bom pinggir jalan dan penembakan yang diduga dilakukan para pemberontak di distrik Ruso, di provinsi selatan Narathiwat yang dilanda kekerasan, menurut polisi. Sersan Tripop Suasuwan, ketua tim dan Prajurit Adisak Onsud luka parah oleh pecahan peluru.
Kaki kanan Sersan Tripop patah dan Prajurit Adisak terluka oleh pecahan peluru di kaki kiri dan tubuhnya, kata Kapten Pol Danchai Moonpom di kantor polisi Ruso. Keduanya kemudian dibawa ke Rumah Sakit Songklanagarind di Hat Yai.
Sementara itu dua lainnya cedera, Prajurit Wichai Watcharosit dan Prajurit Panupong Kuakulburananon, terluka oleh pecahan alat peledak di tubuh mereka dan menerima perawatan medis di Rumah Sakit Ruso. Menurut penyelidikan awal, kesatuan terdiri 12 orang tentara pada unit perlindungan guru itu sedang mengadakan patroli wilayah dan mengawal guru ke Sekolah Banmanangpanyang, ketika seorang pemberontak diduga menggunakan ponsel untuk memicu bom yang dipendam itu.
Setelah bom itu meledak, para tentara disergap oleh sejumlah orang bersenjata yang tidak dikenal. Kedua kelompok terlibat baku tembak selama sekitar lima menit. Kemudian, orang-orang bersenjata melarikan diri dari tempat kejadian perkara.
Para pejabat kemudian menahan tiga orang yang dicurigai terlibat dalam serangan itu untuk penyelidikan lebih lanjut, menurut Kapten Pol Danchai Moonpom. Dalam perkembangan terkait, Letnan Jenderal Benjarong Chareonporn, wakil komandan Angkatan Darat Kawasan Keempat, memimpin upacara pemakaman dan permandian dari Relawan Pamong Praja, Kampol Luedech dan Somros Makboon yang ditembak mati Senin siang di sebuah pasar di kabupaten Cho Ai Rong, Narathiwat.
Mayat mereka kemudian dipindahkan ke kampung halaman mereka masing-masing di Nakhon Si Thammarat dan Surat Thani. Lebih dari 4.000 orang termasuk pejabat pemerintah dan warga telah tewas di tiga provinsi selatan Yala, Pattani dan Narathiwat sejak pemberontakan di wilayah itu muncul kembali pada 2004.
Ketiga provinsi paling selatan yang berbatasan dengan Malaysia itu sebelumnya adalah wilayah otonomi kesultanan Melayu Muslim sampai dianeksasi oleh Thailand yang mayoritas memeluk Budhha pada 1902. Sejak itu pemberontakan meletus di wilayah tersebut.