REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengamat transportasi dari Univesitas Indonesia (UI), Jachrizal Sumabrata, mengatakan, mass rapid transit (MRT) tak menyelesaikan kemacetan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kemacetan itu merupakan suatu hal yang lumrah yang dihadapi kota besar.
''Tak ada obat yang mujarab,'' ujar Jachrizal saat dihubungi Republika, Jumat (21/5). Menurut Jachrizal, kini peningkatan pelayanan angkutan publik yang harus dilakukan. Sehingga masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi mau beralih ke kendaraan umum.
Diperkirakan 20 juta kendaraan tiap hari melintasi kota Jakarta. Jumlah angkutan umum yang ada hanya sekitar 10 hingga 20 persennya saja. Beberapa alat transportasi umum juga belum optimal dalam mengangkut penumpang.
Busway rute Blok M-Kota misalnya, sebenarnya bisa mengangkut 20 ribu orang per perjalanan per jam. ''Namun, kini baru bisa mengangkut 10 ribu orang per perjalanan per harinya,'' jelas pakar yang biasa dipanggil Jack ini.
Hal senada juga diutarakan pengamat transportasi lainnya Irwan Katili. Irwan menganggap proyek MRT terlalu ambisius jika akan dibuat sekarang. Pasalnya, MRT membutuhkan anggaran yang besar, terutama untuk membuat fasilitas penunjang di bawah tanah, seperti membuat terowongan, jaringan listrik, dan komunikasi. ''Sedangkan dalam kondisi sekarang, hal ini tak tepat dengan keuangan Pemda DKI,'' ujarnya.
Pengamat dari UI ini pun mengatakan, membuat MRT di bawah tanah juga amat riskan. Pasalnya Jakarta merupakan daerah yang rawan banjir. Akan sangat mahal bila membuat terowongan dengan lapisan tahan air.
Menurut Irwan, lebih baik kini pemerintah membuat sistem tremway. Ia beranggapan transportasi ini lebih murah dan berdaya tamping besar. Namun, ia mengakui MRT bisa menjadi solusi kemacetan jangka panjang.