REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dari 400 industri di sepanjang Jalan Raya Bogor, baru 129 yang memanfaatkan jasa air perpipaan, sisanya masih menggunakan air tanah. Hal ini membuat kondisi air tanah di kawasan di sepanjang Jalan Raya Bogor dalam kondisi kritis.
Hal ini diungkapkan Kebid Penegakan Hukum BPLHD Ridwan Panjaitan saat berlangsung sosialisasi 'Pemanfaatan Air Tanah dan Penindakan/Penertiban kawasan Industri sepanjang Jalan Raya Bogor' di aula PT Panasonic Gobel, Jalan Raya Bogor Km. 29, Jakarta Timur, Kamis (4/11). Sosialosasi ini didukung oleh PT Aetra Air Jakarta sebagai rekanan PDAM Jaya. "Minggu depan kami akan inspeksi industri di sekitar sini," ujar Ridwan.
Seminggu kemudian, BPLHD akan menyusul dilakukannya penindakan terhadap industri yang kedapatan menyalahgunakan penggunaan air tanah sesuai Perda 10/1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sementara, penindakan oleh BPLHD diatur oleg Pergub 113/2005 tentang Penertiban Kegiatan Usaha Air Bawah Tanah.
Sosialisasi sengaja dilakukan di Panasonic Gobel karena berada di wilayah terjauh pelayanan Aetra di kawasan Jaktim. Saat dilakukan uji coba, tekanan air dari PDAM Jaya mencapai 0,742, atau telah jauh mencukupi dari kebutuhannya yang hanya 0,25. "Ini berarti kawasan ini sudah wajib menggunakan air pipa karena tekanan air dari Aetra mampu memenuhi kebutuhan industri hingga 100 persen," jelas Ridwan.
Secara ekonomis, Dirut Operasional Aetra Lintong Hutasoin menjelaskan, harga air pipa hanya Rp 12 ribu per meter kubik, sementara air tanah mecapai Rp 21 ribu. "Jadi aneh kalau mereka masih memilih menggunakan air tanah," kata Lintong.
Kegiatan sosialisasi ini merupakan bagian dari program Zero Deep Well oleh BPLHD mengingat persedian air tanah yang semakin menipis. Menurut Ridwan, oleh industri, air tanah hanya boleh digunakan sebagai cadangan. Dalam waktu mendatang, penindakan akan dilakukan kepada industri yang tidak beralih ke air pipa. "Tindakan berupa penyegelan sumur," tegasnya.