REPUBLIKA.CO.ID, BREBES--Bara merah jelas terlihat dari jauh, diiringi dentingan-dentingan palu besar membelah dan menipiskan besi panas. Ade (50) dan anaknya, Sandi (26) mandi peluh kepanasan. Selesai sebatang besi, mereka berdua membakar besi lagi dan menipiskannya.
“Lagi banyak pesanan golok dan sabit,” kata Ade, sambil terus memukulkan palu menipiskan besi yang sudah dibakarnya hingga membara. Gubuk kecil di pinggir hutan yang dikelola Perhutani, di pinggiran sungai Desa Pengebatan, Kecamatan Bantarkawung, Brebes, siang itu terasa seperti microwave. Panas sekali.
“Sudah 25 tahun saya jadi pandai besi. Ini anak saya mah masih ngebantuin,” kata Ade dalam logat Sunda yang khas. Bahasa Sunda memang digunakan secara meluas di sekitar wilayah ini. Walaupun secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, namun secara kultur mereka lebih mengikuti Jawa Barat.
Bantarkawung dan sejumlah kecamatan di sekelilingnya memang dikepung oleh bukit dan hutan lebat yang dikelola Perhutani dengan hasil hutan berupa kayu mahoni, karet, dan lain-lain. Modal Ade hanya besi, arang, dan tenaga saja. Besi batangan ia peroleh dari penyalur seharga Rp 6 ribu per kg, dan dari 1 kg, setidaknya dia bisa membuat 6 buah parang yang bisa dijual seharga Rp 30 ribu per buah, tidak termasuk gagang dan sarungnya. “Lumayan, bisa buat nerusin dapur ngepul,” ungkapnya sambil tersipu.
Dengan keterampilannya, satu batang parang dapat diselesaikan bersama anaknya hanya dalam waktu 1 jam saja. Dari mulai membakar, memipihkan, membakar lagi hingga finishing, dilakukan dengan tenaga penuh, tidak setengah-setengah hingga tidak heran badannya pun berotot bak atlet binaragawan.
Pekerjaan kreatif ini, ternyata merupakan barang langka di wilayah itu sehingga para pelanggan yang datang dari berbagai desa sekitar berduyun-duyun memesan ke Ade. “Macam-macamlah keperluannya, sebagian besar bertani. Asal jangan dipakai buat ngerampok aja…” kataya terkekeh. Ade mengakui, ada kalanya dia pun sepi pesanan, berhari-hari tidak seorang pun datang. Kalau sudah begitu biasanya dia hanya membuat satu dua barang sebagai stok cadangan.
Jika sedang ramai, adakalanya dia pun lembur sampai malam, terutama kalau menjelang hari panen padi. “Kalau pas ramai, biasanya yang datang ke sini petani-petani, dan saya memberikan potongan harga, dari 30 ribu untuk sebuah parang menjadi 25 ribu saja,” kisahnya.
Ade mengakui, dengan cara tersebut, dia malah mendapatkan pelanggan lebih banyak dan pelanggannya jadi setia. Namun ketika ditanya sampai kapan dia akan berprofesi sebagai pande besi sementara tenaganya makin tua makin lemah, dia pun hanya menggeleng pelan.