REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Usia lanjut bukanlah penghalang bagi Ciptaningsih Utaryo untuk terus berkarya dan bekerja. Di saat banyak orang muda bergelimpangan di sudut-sudut jalan menganggur, nenek 80 tahun ini justru setiap hari sangat padat dengan aneka kegiatan kemasyarakatan. Bu Taryo, demikian beliau akrab dipanggil, adalah Ketua Yayasan Sayap Ibu, sebuah lembaga sosial yang khusus mengurusi ibu hamil, bayi, dan lansia. Lembaga ini sudah berdiri sejak 1955 dan sejak itu pula fokus memelihara bayi-bayi tidak berayah-beribu yang dibuang di jalanan serta lansia yang disia-siakan keluarganya.
“Banyak orang lupa dengan dua golongan ini. Padahal, mereka itu—balita dan lansia—pada hari-hari normal saja selalu butuh bantuan, apatah lagi saat bencana,” katanya lugas saat menerima kunjungan Deras ke kantornya di Jalan Rajawali 3, Pringwulung, Yogyakarta. Kantornya merangkap sebagai panti asuhan, dengan bilik-bilik berisi bayi berusia 0-2 tahun. “Mereka anak-anak yang terzolimi,” katanya pilu.
Bu Taryo sedari awal menyadari bahwa setiap kali ada bencana, perhatian pemerintah dan LSM tertuju pada orang-orang normal saja. Bahkan makanan bantuan pun hanya bisa dikonsumsi untuk orang dewasa normal. “Sumbangan kok ya hanya mie instan, yang bisa makan kan cuman orang gedhe saja!” Dia menambahkan, kalaupun ada yang peduli dengan menyumbang makanan bayi, pun semata-mata hanya memberikan makanannya saja. “Alat makannya lupa, dan bisa dibayangkan betapa repotnya ketika para ibu-ibu itu menyiapkan,” tuturnya.
Selain untuk ibu hamil dan balita, Bu Taryo juga secara khusus menaruh perhatian pada orang tua (lansia). “Saya ini orang tua, Mas. Jadi, bisa merasakan apa yang mereka alami.” Dirinya berkisah, orang tua itu, apalagi di Jawa, tidak bisa memakai rok, mereka hanya mau memakai kain. Tambahan lagi, mereka tidak mau dan tidak bisa memakai BH. “Bayangkan. Orang tua itu ketika hari biasa saja, mereka suka beser—mudah pipis. Apalagi ketika bencana dan mereka ketakutan, pasti besernya lebih sering. Mereka tidak disediakan kain ganti, lalu lama-lama bau, dan sama keluarganya disia-siakan. Ini kejadian!” tuturnya berapi-api.
“Saya sudah pengalaman banyak. Pola orang tua yang saya tahu seperti itu. Sejak saya menjadi anak buah Bung Tomo di Tentara Pelajar umur 16 tahun, lansia di Jawa seperti itu kondisinya,” katanya. Terakhir, dia juga mengingatkan bahwa penanganan bencana harus memperhatikan ABG. “Jangan lupa sediakan pakaian ABG! Pengalaman gempa Yogya tahun 2006, tepat 10 bulan setelah gempa, ada sekian puluh bayi lahir tanpa bapak,” katanya. Bu Taryo lalu terdiam cukup lama.
Dijelaskannya, ketika bencana gempa datang, orang semua lari dengan pakaian seadanya termasuk para remaja putri. Mereka kemudian tidur di tenda-tenda tanpa pengaman. “Ujung-ujungnya ‘kan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan benar-benar nyata. Di panti kami, sekitar 10 bayi kami temukan. Mereka dibuang karena lahir di luar kehendak orang tuanya. Coba kita renungi,” ajaknya. Dia berharap bahwa di musibah Merapi kali ini, kejadian semacam itu tidak lagi berulang.