REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Gubernur DI Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X menegaskan, tidak akan menggunakan dana dari utang luar negeri serta mengutamakan kearifan lokal untuk rehabilitasi pengungsi pascaerupsi Merapi.
"Kami menghindari itu (utang). Bantuan diambil dari APBD dan shelter dari sponsor," ujar Sultan, Senin (29/11).
Sultan pun tak memungkiri, pihaknya sangat membutuhkan bantuan dari pihak luar, seperti dana bantuan darurat dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), maupun pemerintah pusat. Sayangnya, dana dari pemerintah pusat masih terkendala pendataaan berdasarkan nama dan alamat pengungsi yang belum tuntas.
"Kami butuh rehabilitasi di sektor perdagangan dan infrastruktur, tapi kami yakin bisa mandiri seperti saat pascagempa tahun 2006," jelas Sultan.
Sikap Sultan tersebut didorong oleh Jaringan Advokasi Penyintas (JAP). Perwakilan aliansi lembaga masyarakat sipil yang terdiri dari WALHI Yogyakarta, LBH Yogyakarta, dan forum lembaga swadaya masyarakat lainnya itu pun telah menemui Sultan. Hal ini agar ada ketegasan perbaikan penanganan penyintas (pengungsi) dengan memenuhi kebutuhan dasarnya. "Kami mendorong kemandirian masyarakat dan pemerintah agar mengutamakan konteks lokal hingga tak merusak kultur Yogja,"ujar Juru Bicara JAP, Suparlan.
JAP menegaskan pula, beberapa hal perlu diperhatikan untuk mengembalikan aset penghidupan penyintas. Salah satunya,imbuh Suparlan, menolak proses Post Disaster Need Assesment (DALA dan HRNA). Pasalnya, proses pendataan tersebut tidak partisipatif sehingga perlu dilakukan penghitungan ulang kerusakan dan kerugian akibat erupsi gunung dengan partisipasi para penyintas.
Suparlan yang juga Ketua WALHI Yogyakarta ini pun menyarankan pada Gubernur DIY agar program pemotongan salak sebagai bagian cash forward (padat karya) benar-benar dipastikan pemberdayaannya untuk penyintas di daerah tersebut.