Rabu 19 Jan 2011 08:10 WIB
Trending News

Stres Memikirkan Kehidupan Masa Depan

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Johar Arif
Lokasi pengungsian banjir lahar dingin Merapi di Lapangan Desa Jumoyo, Salam, Magelang, Jateng.
Foto: Antara
Lokasi pengungsian banjir lahar dingin Merapi di Lapangan Desa Jumoyo, Salam, Magelang, Jateng.

REPUBLIKA.CO.ID,MAGELANG - Seorang remaja putri tampak duduk melamun di sebuah tempat tinggal sementara bagi pengungsi korban Gunung Merapi. Tatapan mata gadis berusia 15 tahun itu terlihat kosong. Sebut saja nama gadis itu Anik.

Sejak tinggal di pengungsian yang berada di Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Anik yang tadinya periang kini menjadi pendiam. Siswi SMP ini pun tak lagi bersekolah. Sehari-hari, dia hanya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk atau tiduran di dalam shelter yang dihuni bersama kedua orangtua dan kakaknya.

Masih di lokasi yang sama, seorang ibu juga terlihat kerap menyendiri dan meratapi nasibnya. Di benaknya masih teringat jelas rekaman kejadian saat rumahnya, dalam sekejab, hilang terseret arus banjir lahar dingin materi vulkanis Merapi yang melintasi Kali Putih, dua pekan lalu. Kala itu, dia hanya bisa menangis sejadi-jadinya hingga pingsan menghampiri dirinya.

Anik dan ibu itu sama-sama merasakan kekecewaan yang mendalam. Keduanya memikirkan kehidupannya yang tak lagi sama setelah didera amuk Merapi. Mereka yang bisa dikatakan mengalami gangguan jiwa rupanya terbilang banyak. Mereka tersebar di sejumlah titik pengungsian atau shelter.

Di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga akhir Desember 2010, korban Merapi yang mengalami gangguan jiwa saja sekitar 756 orang. Ini baru di satu kabupaten. Belum lagi di Kabupaten Magelang, Klaten, atau Boyolali, yang letaknya mengelilingi Merapi dan terpapar bencana.

Gangguan jiwa yang diderita pengungsi itu beragam, mulai dari yang ringan hingga kelas berat. Dari 756 orang itu ditemukan 52 di antaranya mengalami gangguan jiwa berat. Semua penderita gangguan jiwa berat sudah dirujuk ke RS Ghrasia di Pakem, Sleman.

Sedangkan, penderita gangguan jiwa ringan hingga kini masih ditangani oleh Dinas Kesehatan Sleman dengan berobat jalan dan pendampingan psikologis. ''Mereka yang menderita gangguan jiwa ringan, seperti merasakan kecemasan, psikosomatik, depresi, dan post traumatic syndrom,'' ungkap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Mafilindati Nuraini.

Nuraini mengakui, gangguan jiwa memang rentan menyerang para korban Merapi karena banyak faktor yang menjadi pemicunya. Umumnya disebabkan oleh musnahnya rumah dan harta benda karena disapu keganasan Merapi sehingga membuat pengungsi putus asa memikirkan nasibnya ke depan yang harus dimulai dari nol lagi. Gangguan jiwa ringan bisa dilihat dari tanda-tandanya yang sederhana berupa susah makan, susah tidur, atau selalu merasa was-was.

Psikolog dari RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, Indria Laksmi Gamayanti, menambahkan letusan Merapi meninggalkan trauma mendalam bagi korbannya. Apalagi, banyak dari mereka hingga kini masih tinggal di tempat pengungsian, shelter atau di hunian sementara (huntara) sehingga menjauhkan dari kehidupan normal.

Berdasarkan pengamatan, Gamayanti memaparkan, bentuk trauma yang diderita pengungsi beragam, antara lain karena melihat langsung keluarnya wedhus gembel, mendengar suara gemuruh Merapi, mengalami kepanikan ketika harus berlari menyelamatkan diri dan melihat keluarganya yang terjatuh saat berlari atau dari sepeda motor.

Ada pula yang stres saat malam hari mendengarkan bunyi sirene tanda bahaya yang mengharuskan mereka segera pergi menyelamatkan diri. Padahal, mereka baru saja tertidur. Ada pula pengungsi yang stres lantaran mesti berpindah-pindah tempat pengungsian. ''Stres seperti itu cukup banyak dialami, baik oleh anak-anak maupun orangtua,'' ujar Gamayanti.

Gangguan jiwa juga bisa disebabkan oleh sikap petugas atau relawan yang terlalu keras terhadap warga. Penyebabnya sepele hanya karena petugas memanggil warga untuk mengungsi sambil berteriak-teriak. Gamayanti mengemukakan, ada pula pengungsi yang merasa diperlakukan seperti barang ketika diangkut menuju pengungsian.

Proses pemindahan itu ternyata juga membawa dampak emosional yang negatif, perasaan ketidakberdayaan, ketergantungan, tidak memiliki apa-apa, ketidakpastian, dan ketidakadanya otonomi pribadi. Belum lagi fasilitas yang ada untuk umum, sehingga menimbulkan gesekan yang bisa memunculkan konflik. ''Saya kira itu stressor yang cukup kronis,'' jelas Gamayanti.

Kurangnya aktivitas selama di pengungsian ikut memicu lahirnya gangguan jiwa. Pengungsi yagn menjalani hari hanya duduk-duduk, diam, dan tiduran justru rawan bagi kejiwaan. Gamayanti banyak menemukan keluhan dari pengungsi dewasa berupa pegal-pegal, pusing, dan letih.

Sedangkan, anak-anak menjadi rewel yang biasanya dikarenakan makanan tidak sesuai, minta dibelikan mainan atau makanan. Sementara, orangtua tak memiliki uang. ''Tanda-tanda seperti itu sebetulnya bagian dari masalah psikologis yang kompleks,''ungkap Ketua Umum Ikatan Psikologi Klinis Pusat ini.

Orang dewasa di pengungsian juga kerap dipusingkan oleh nasib masa depan keluarganya. Beban terbesar mereka adalah memikirkan lahan pekerjaan untuk menyambung kehidupan. Lantas, masalah ketiadaan privacy keluarga bagi pengungsi yang tinggal di barak besar yang menyatu dengan puluhan atau ratusan pengungsi lain. Mereka tinggal tanpa penyekat sehingga suami-istri sulit menyalurkan hasrat psikologisnya.

Meskipun masalahnya coba diselesaikan melalui bilik cinta, tetapi ini tidak berjalan karena masyarakat tidak terbiasa memanfaatkannya. Menurut Gamayanti, pasangan suami istri merasa sungkan bila masuk ke bilik cinta dengan diiringi tatapan mata orang banyak. ''Seharusnya di tempat pengungsian ada penyekat bagi keluarga dan syukur ada ruang untuk suami isteri sehingga ini lebih manusiawi,'' cetusnya.

Untuk mengatasi trauma, Gamayanti menyarankan agar semua pemangku kepentingan duduk bersama mencari solusinya. Bagi anak-anak usia dini, dia mengusulkan, guru PAUD/TK bisa dilibatkan untuk mendeteksi dan mengintervensi secara dini. Apabila ada kasus-kasus yang sangat khusus bisa dikirim ke psikolog atau psikiater.

Menurutnya, kelompok masyarakat seperti PKK dan Dasawisma perlu diberdayakan lagi bagi ibu-ibu di pengungsian sehingga tercipta aktivitas nyata. Sedang bagi kalangan bapak, tak ada cara lain, selain diberi pekerjaan alternatif. Sedang, bagi remaja perlu dibentuk kelompok-kelompok khusus. ''Selama ini kelihatannya yang agak terlewat kelompok remaja. Padahal, mereka termasuk kelompok yang rawan bila dilihat dari usianya,'' katanya.

Ada fenomena menarik yang terjadi pada pengungsi. Gamayanti mengungkapkan, pengungsi Merapi yang dilibatkan langsung dalam aktivitas masyarakat seperti dilakukan di Bantul dan Gunung Kidul ternyata mampu meredam stres.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement