REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Istilah gubernur dan wakil gubernur utama merupakan konsep penjajah kolonial Belanda yang diterapkan pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, kata kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Joyokusumo.
"Istilah itu justru mengikuti organisasi keraton sebelum masa kemerdekaan. Metode itu diterapkan penjajah Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia," katanya pada pertemuan dengan delegasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Yogyakarta, Sabtu (29/1).
Namun, menurut dia, konsep itu justru akan diterapkan oleh pemerintah, seperti yang diusulkan dalam Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ketua Komite I DPD Deni Anwar mengatakan, istilah gubernur dan wakil gubernur utama tidak jelas. Dalam RUUK DIY versi pemerintah disebutkan gubernur utama diatur oleh peraturan daerah istimewa (perdais).
Namun, menurut dia, pada waktu yang bersamaan, perdais tersebut harus memiliki persetujuan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Hal itu rancu karena kewenangan Sultan menjadi tidak jelas. Anggota DPD Paulus Sumino mengatakan, konsep gubernur utama pada zaman dulu merupakan strategi untuk menempatkan posisi Sultan sebagai pemimpin kebudayaan saja dan tidak memiliki kekuasaan. Hal itu diterapkan penjajah untuk membatasi kekuasaan Sultan.
Namun, yang menjadi aneh sekarang adalah pemerintah justru beralasan bahwa hal itu diterapkan untuk menghindari adanya Sultan yang kebal hukum. "Padahal, sebenarnya permasalahan itu terbantahkan karena Sultan memiliki perlakuan sama di mata hukum ketika dirinya terjerat kasus hukum," katanya.