REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Dewan Penasehat MUI Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, H E Khaerul Yunus yang ditunjuk sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus penyerangan dan perusakan kampung Ahmadiyah membeberkan sejumlah fakta dan data pelanggaran pengikut Mirza Ghulam Ahmad tersebut. "Sejak 2005 aliran Ahmadiyah di Cisalada Kabupaten Bogor telah dilarang melebarkan jaringan, setelah adanya keputusan Muspida dan SKB tiga menteri, namun mereka tidak mengindahkannya," katanya di Cibinong, Rabu (23/2).
Saat memberikan keterangannya di hadapan masjelis hakim pada persidangan lanjutan kasus penyerangan dan perusakan kampung Ahmadiyah di Pengadilan Negeri Cibinong, Khaerul menegaskan pengikut Ahmadiyah tetap mendirikan mesjid yang awalnya sudah disepakati untuk tidak didirikan.
Menurut dia, jaringan itu juga menjadikan madrasah sebagai tempat pertemuaan dan merekrut jemaah baru. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, warga ingin menegur, namun karena ada perlawanan hingga penusukan maka terjadilah penyerangan tersebut. Khaerul mengatakan ada tiga point penting yang dilanggar oleh Ahmadiyah adalah pertama melanggar SKB tiga menteri, kedua mendirikan dan membangun Mesjid yang sudah dilarang oleh Pemerintah daerah dan melakukan perekrutan dengan menjadikan sarana Madrasah Ibtidaiyah sebagai tempat penyaluran agama.
Dalam kesaksiannya, Khaerul juga memaparkan sejumlah data dan fakta terkait aliran Ahmadiyah yang telah melenceng dari ajaran Islam, seperti pengakuan warga Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir, dan penggalan isi kitap Tazdkirah yang diambil dari potongan ayat-ayat Alquran yang telah diacak-acak.
Ia membeberkan sejumlah fakta terkait alirah Ahmadiyah bukanlah Islam, dimana pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan juga Tuhan yang sangat jelas sebagai bentuk kesesatan. "Dari masa Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW tidak pernah ada yang mengatakan dirinya Tuhan. Tapi Mirza Ghulam dengan angkuhnya dalam Tazdkirah halaman 195-196 menyatakan dirinya Tuhan," tegas Khaerul.
Khaerul menyatakan, berdasarkan fakta-fakta yang ada tentang perbedaan antara Ahmadiyah dan Islam inilah yang melandasi perjuangan warga Muslim untuk menolak Ahmadiyah sebagai Islam. Ditambahkan Khaerul, kasus Ahmadiyah pada umumnya dan kasus Ahmadiyah di Cisalada Bogor pada khususnya disebabkan oleh pelanggaran SKB tiga menteri, pelanggaran terhadap pelarangan Ahmadiyah di Kabupaten Bogor sejak 22 Juli 2005 dan pembiaran pemerintah Pusat terhadap Ahmadiyah, sehingga rakyat mengambil jalan sendiri.
"Oleh karena itu, solusinya adalah membubarkan dan melarang Ahmadiyah di seluruh Indonesia atau buat agama sendiri dengan nama Ahmadi atau agama Mirza. Dengan begini hak-hak mereka akan kita hormati," katanya.
Khaerul berpendapat ketiga terdakwa hanyalah sebagai korban dari pembiaran paham Ahmadiyah oleh pemerintah, sebab seharusnya pemerintah pusat dan daerah cepat tanggap dengan langsung membubarkan Ahmadiyah. "Pemerintah semestinya bertindak preventif sehingga tidak terjadi konflik. Dan masyarakat juga harus bersatu padu untuk mendukung pembubaran Ahmadiyah," kata Khaerul.
Dalam persidangan lanjutan kasus penyerangan dan pembakaran Kampung Ahmadiyah Cisalada, kuasa hukum tiga terdakwa menghadirkan saksi ade charge (meringankan) yaitu Dewan Penasehat MUI Kabupaten Bogor, HE Khaerul Yunus, tokoh masyarakat Ciampea Udik Dadun Nasri dan korban penusukan Rendy.
Saksi lainnya, Dadun Nasri mengatakan, penyerangan dan pembakaran mesjid terjadi setelah adanya penusukan.
Penusukan itu terjadi di tengah kegelapan karena lampu mati, saat itu warga Jemaat Ahmadiyah sedang menerima kedatangan sejumlah pemuda dari Desa Kebon Kopi. "Kabar penusukan sampai ke warga kampung, karena itulah warga menyerang kampung tersebut karena emosi saat melihat korban penusukan," katanya.
Menanggapi hasil persidangan, Kuasa hukum para terdakwa, San Allaudin, mengatakan, keterangan saksi ahli dari MUI dan warga sudah sangat jelas bahwa seluruh kejadian bermula dari penusukan yang dilakukan oleh warga Ahmadiyah Cisalada. "Semua saksi sudah memberikan keterangan dan memastikan bahwa ada perlawanan yang dilakukan warga Ahmadiyah sehingga memicu bentrokan. Bahkan saksi ahli juga sudah menegaskan bahwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Kami yakin keterangan itu bisa meringankan klien kami," katanya.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta waktu dua pekan untuk memberikan tuntutan terhadap ketiga terdakwa pengerusakan kompleks Ahmadiyah, yakni, Aldi Afriansyah, Dede Novi dan Akbar Ramanda. Epiyarti salah seorang JPU meminta kepada Majelis Hakim persidangan yang dipimpin Astriawati, agar memberikan waktu dua pekan untuk membacakan tuntutan terhadap para terdakwa tersebut. Majelis hakim pun memberikan waktu sampai 9 Maret kepada JPU.