REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X meminta masyarakat untuk tidak resisten dengan demokrasi yang selama ini telah berjalan di provinsi tersebut. "Seharusnya kita semua tidak resisten dengan demokrasi yang terjadi di DIY yang lebih mementingkan musyawarah," kata Sri Sultan Hamengkubuwono X saat memberikan penjelasan di depan Komisi II DPR di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (1/3).
Sri Sultan HB X dan Sri Pakualam VIII diundang Komisi II DPR untuk memberikan masukan bagi pembahasan RUU Keistimewaan DIY. Menurut Sultan, saat ini demokrasi di Indonesia hanya dimaknai dengan pemilihan langsung tanpa menghiraukan kearifan masyarakat sehingga tak lebih sebagai westernisasi.
Sultan menjelaskan bahwa dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY selama ini dilakukan melalui DPRD yang merupakan representasi dari masyarakat. "Bagi masyarakat Yogyakarta, keistimewaan bukan saja memberikan hak privilige atas keturunan raja, melainkan memberikan keistimewaan bagi masyarakat Yogyakarta atas peranannya dalam masa kemerdekaan NKRI," papar Sultan.
Lebih lanjut Sultan menegaskan, melihat realita dan dinamika rakyat DIY yang sebagian besar menginginkan seperti yang selama ini terjadi harus juga diakui. Menurut Sultan, keistimewaan DIY sudah diatur dalam Pasal 18 B UUD 1945. "Maka apa yang telah berjalan dalam pengisian gubernur DIY selama ini sudah berjalan demokratis. Karena itu tidaklah berlebih jika keistimewaan DIY masih layak diterima tidak saja sebagai penghormatan yuridis, filosofis maupun sosiologis," kata Sultan.
Sebelumnya Sultan juga menjelaskan bahwa jauh hari sebelum Indonesia merdeka terdapat setidaknya 250 masyarakat adat yang sudah ada. Dua di antaranya, kata Sultan, adalah masyarakat adat Kasultanan Ngayogyakarta dan Pakualaman. Untuk Kasultanan Ngayogyakarta dan Pakualaman, katanya, bahkan sudah diakui oleh Ratu Wilhelmina sebagai sebuah negeri merdeka yang secara hukum internasional sama sebagai negara merdeka seperti negara di dunia lain. Sehingga saat Belanda menjajah Indonesia, katanya, maka Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman tetap dihormati sebagai negara sendiri.
"Karena itu ketika terjadi penjajahan di Indonesia, Belanda tidak masuk ke Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman karena dihormati sebagai negeri berdaulat," kata Sultan. Karena itu, tambah Sultan, keistimewaan DIY harus dipahami secara utuh untuk memahami simbol-simbol yang ada.