REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdapat beberapa persoalan yang menyelimuti pelaksanaan Pilkada serentak. Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, salah satu persoalan yang paling strategis adalah pada aspek anggaran. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan, revisi Undang-Undang (UU) Pilkada menjadi UU nomor 8 tahun 2015 telah mengubah skema sumber anggaran Pilkada.
Semula, Pasal 166 UU nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa pendanaan kegiatan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daereh (APBD).
Namun, ketentuan ini kemudian dibalik menjadi dibebankan pada APBD dan didukung oleh APBN. "Hal inilah yang menyebabkan Pilkada sempat tersendat," ucapnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dewan Perwakilan Daeah (DPD) RI di Komplek Parlemen, Senin (24/8).
Padahal, lanjutnya, Menteri Dalam Negeri telah berekali-kali menekankan bahwa anggaran harus segera disediakan. Namun banyak daerah yang tidak menghiraukanya. Oleh karena itu, Titi juga berharap agar DPD RI dapat meningkatkan perannya dalam mendorong setiap daerah untuk memenuhi kewajibanya.
"Ada daereah yang cenderung membandel dan buying time dalam menyediakan anggaran," ujar dia.
Menurut Titi, bukan hal yang aneh jika banyak persoalan menyelimuti pelaksanaan Pilkada serentak. Menurut dia, Undang-Undang (UU) Pilkada yang ada saat ini bukanlah sebuah produk perundang-undangan yang betul-betul dipersiapkan dengan baik dan matang.
"Hal ini membuat payung hukum Pilkada tidak benar-benar kuat," ucapnya.
Menurut dia, UU Pilkada lahir sebagai produk keadaan 'memaksa' hasil peretarungan kelompok yang menginginkan Pilkada langsung dan kelompok yang pro terhadap Pilkada oleh DPRD. Sehingga, lanjut Titi, tidak mengherankan jika kini banyak persoalan yang membelit pelaksanaan Pilkada. Karena UU Pilkada lahir di tengah ketergesa-gesaan dan injury time, maka ditemui masalah redaksional, sistem serta maslah substansi dalam UU.