REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris mengatakan selama lebih dari satu dekade, ada beberapa sumber korupsi pengelolaan keuangan daerah.
Sumber tersebut terletak pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, belanja hibah dan bantuan sosial (bansos) serta belanja perjalanan dinas.
Selain itu, kasus korupsi yang membelit kepala daerah juga akibat memanipulasi jabatannya untuk ‘mengobral’ berbagai perizinan terutama yang terkait dengan pertambangan dan kehutanan.
Pembahasan dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi proses yang sangat sering menjadi agenda korupsi di daerah secara berjamaah.
Semua tahapan mulai dari pengadaan, pengumuman lelang, penyusunan harga perkiraan sendiri, hingga penyerahan barang/jasa diskenariokan.
"Ranjau korupsi ini sangat banyak saat pembahasan dan pengesahan APBD," kata Fahira dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id
Saat perencanaan pengadaan, biasanya modusnya penggelembungan anggaran dan rencana pengadaan yang diarahkan untuk memenangkan salah satu peserta lelang.
Pada tahap pengumuman lelang, modusnya adalah lelang yang diumumkan fiktif. Sementara, pada penyusunan harga perkiraan, biasanya ditutup-tutupi dan digelembungkan.
Muara korupsinya dapat dilihat pada saat penyerahan barang/jasa yang pastinya volumenya tidak sama dan kualitas pekerjaan pasti lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik.
Tindakan korupsinya juga sangat beragam mulai dari suap, sogok, menerima komisi, nepotisme, hingga sumbangan ilegal dan pemerasan. Untuk itu sudah sepatutnya pencegahan korupsi di daerah bisa di mulai dari sini (pembahasan APBD).