REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPD RI, Sultan Baktiar Najamudin mengharapkan agar aparat pemerintah daerah mulai dari bupati sampai kepala desa tidak ragu dan khawatir dalam menyalurkan dan melaksanakan proyek-proyek dana desa. Menurut Sultan, sesuai dengan hasil Seminar Nasional dengan tema “Penegakan Hukum Dalam Kerangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Dan Percepatan Pembangunan Daerah,” yang diselenggarakan DPD RI di Gedung Nusantara IV, Kompleks DPR/MPR Senayan Jakarta, Senin (24/2), baik kepolisian maupun kejaksanaan sepakat untuk mempercepat pembangunan di daerah.
“Mulai sekarang dan kedepan, baik Kapolri, Kejaksaaan Agung dan KPK tidak akan serta merta melakukan proses pemeriksaan terkait dengan kasus-kasus penyaluran dana desa. Mereka juga melihat, banyak kepala desa yang tidak memiliki banyak pengetahuan tentang penyaluran dana desa. Banyak juga mereka tidak memiliki niat untuk korupsi tapi karena kurang pengetahuannya, dana desa salah sasaran,” tegas Sultan usai menutup acara Seminar Nasional.
Justru, menurut Sultan, Jaksa Agung, Wakapolri dan KPK mendukung semua program pembangunan daerah dan aparat daerah khususnya desa. Jadi aparat desa tidak perlu ragu dalam melangkah sepanjang niatnya bukan untuk korupsi.
“Bahkan jaksa agung dengan mengatakan jika ada Kajati dan Kajari atau aparat jaksa yang nakal, laporkan ke DPD dan DPD RI laporkan ke mereka, Jaksa Agung siap menindak dengan tegas. Begitu juga dengan direktur umum, direktur khusus sampai dengan Kapolda, jika ada yang nakal segera laporkan ke kami. Kami akan sampaikan kepimpinan kepolisian,” tegasnya.
Lebih lanjut Sultan mengungkapkan selama ini, praktek penegakan hukum kurang berjalan maksimal karena belum padunya praktek penegakan hukum antar institusi penegak hukum. Banyak fakta menunjukkan bahwa permasalahan mendasar yang menjadi kendala dalam upaya penegakan hukum adalah praktek penyelenggaraan hukum yang belum mencerminkan keterpaduan antar institusi penegak hukum. Oleh karenanya, kita berharap agar kedepan, semua pihak memahami konsep dan praktek penegakan hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
“Secara spesifik, masing-masing stakeholders dapat memahami porsi dan posisi lembaganya sebagai upaya bersama melakukan akselerasi pembangunan daerah dalam koridor yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Tanpa menghilangkan ataupun mengebiri kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam kerangka otonomi daerah, “ tegasnya.
Lebih lanjut Sultan mengungkapkan langkah DPD RI mempertemukan stakeholders daerah dan penegak hukum adalah upaya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam mengeksekusi program-program pembangunan tanpa harus merasa khawatir akan berakibat hukum.
Ia berharap, kegiatan ini menjadi langkah awal bagi semua dalam membangun sinergitas antara penyelenggaraan pemerintahan baik pusat maupun daerah dengan penegakan hukum. Kegiatan ini juga memberikan penguatan untuk membangun komitmen bersama dan menjadi salah satu solusi di dalam memecahkan permasalahan yang menghambat akselerasi pembangunan daerah.
"Supaya dapat mewujudkan penegakan hukum yang tidak hanya berkeadilan, namun juga solutif sehingga tercipta iklim yang kondusif dan kepastian hukum sebagai prasyarat melakukan akselerasi pembangunan di daerah,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Komite I DPD RI, Agustin Teras Narang mengungkapkan salah satu faktor pemicu terjadinya praktek korupsi dan masalah hukum di daerah adalah ongkos pilkada yang mahal. Hal ini semakin diperparah oleh lemahnya kaderisasi partai serta beratnya calon independen bagi kepala daerah. Pada perjalanannya, kepala daerah yang terpililh juga kurang kompeten dalam memahami regulasi serta adanya monopoli kekuasaan.
“Dari jumlah daerah otonom 542 daerah, menurut catatan terdapat 422 kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kotabeserta wakilnya yang terjerat tindak pidana hukum termasuk tindak pidana korupsi. Berdasarkan data dari BPKP, periode 2012 – 2015 terdapat 71 perkara TPK di Instansi pemerintahan provinsi. Sementara itu, di kabupaten/kota terdapat 107 perkara TPK,” tegasnya.
Teras juga melihat peta korupsi di daerah meliputi enam hal yaitu korupsi penerimaan pajak, penerimaan non pajak, belanja barang dan jasa, bantuan sosial, pungtutan daerah serta korupsi yang berkaitan dengan DAU dan DAK. Oleh karenanya perlu adanya solusi dari hulu sampai hilir.
Sejak pencalonan, perlu adanya kesepakatan agar tidak ada mahar untuk mendapatkan rekomendasi Partai Politik. Tidak adanya komitemen dengan para pelaku usaha mengenai proses pencalonan, perlu pembatasan publikasi bagi bakal calon. Saat menjadi calon kepala dearah perlu adanya pembatasan peraga dan prasarana kampanye, menghilangkan politik uang dan pembiayaan saksi oleh negara.
"Sedangkan saat terpilih, bekerja konsisten sesuai dengan norma, standar dan prosedur, penganggaran yang transparan, pengawasan oleh aparat pusat, pengoptimalan fungsi APIP dan perlu dikajinya kepala daerah sebagai Pembina Utama Kepegawaian agar tidak menimbulkan masalah saat petahana maju pilkada,” tegas Teras Narang.