REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Pembicaraan itu dilakukan Matthew Keller sambil lalu, namun sungguh membekas di hatinya. Siang itu, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Manchester ini berbasa-basi mengajak berbicara dengan seorang mahasiswi Muslimah di kampusnya. Ia tertarik mengajaknya berdiskusi karena penampilannya berbeda dengan rekan-rekannya yang lain, berjilbab.
Alangkah terkejutnya, ketika ia mengetahui sang mahasiswi ternyata adalah seorang mualaf. Apa yang diceritakannya, hampir sama dengan apa yang dirasakannya. "Saya memiliki agama dalam kehidupan saya, tetapi gagasan trinitas sungguh menjadi pertanyaan bagi saya sedari kecil. Kemudian teman saya menjelaskan prinsip Islam kepada saya, fakta bahwa tak satu pun dari para nabi adalah anak-anak Allah, Allah tidak memiliki anak, entah itu anak laki atau perempuan," ujarnya.
Baginya, hal itu lebih masuk akal. Sejak itu, ia mulai menjelajahi tiap literatur mengenai islam. "Saya hampir sepanjang hari berselancar di dunia maya untuk mengetahui prinsip Islam tentang ini atau itu. Saya menjadi hampir terobsesi dengan itu," ujarnya.
Hingga akhirnya, timbul keinginan untuk memeluk Islam. Namun, ia selalu ragu. "Apa kata keluarga saya nanti? Apa komentar teman-teman? Apakah saya siap untuk tidak minum alkohol dan konsisten melakukan shalat lima kali sehari? Tapi di atas semua itu, faktor keluarga yang paling dominan," tambahnya.
Matthew besar dalam keluarga yang hangat. Kedua orang tuanya adalah penganut Katholik yang taat. "Saya tak ingin melukai mereka dengan berpindah agama," katanya.
Namun suatu hari ia terbangun dan menyadari tak ingin menipu diri sendiri. "Saya tahu apa yang ada di hati saya, lakukan saja. Jadi saya pergi ke teman-teman Muslim saya dan berkata, "Bagaimana Anda benar-benar menjadi seorang Muslim dan apa yang harus saya katakan?" Ia pun bersyahadat dituntun teman-temannya.
Ia ingat, syadat itu diucapkannya menjelang Natal 2006. "Sungguh bukan momen yang pas untuk memberitahu keluarga saya tentang keislaman saya," ujarnya.
Ia memulai dengan ibu dan adik-adiknya, karena mengaku pada sang ayah, ia belum berani. "Itupun, saya hanya menunjukkan buku-buku tentang Islam pada mereka dan bilang 'aku sedang baca buku ini' dan mereka terkejut," ujarnya.
Sang ibu diam-diam turut membaca buku itu. Sehingga, saat ia hendak memberitahukan telah menjadi mualaf, sang ibu sudah menebaknya. Ia terharu saat sang ibu bilang: "Apa pun yang kau ingin lakukan dalam hidup aku akan mendukungmu. Jika kau senang, aku ikut bahagia." Namun ia meminta sang ibu merahasiakannya dari ayahnya.
Menemukan tambatan hati
Menjadi Muslim, ia mengaku hidupnya lebih tertata. Ia memang tak minum minuman keras, tapi ia tak kehilangan teman-temannya. melihat pergaulan bebas di London, ia berpikir untuk menikah, agar tak berzina.
Tekadnya satu, istrinya haruslah seorang Muslimah. Itu sebabnya, ia mendaftar ke situs perjodohan Muslim. Di situs itulah ia bertemu dengan Sumia, seorang gadis keturunan India yang ternayat kuliah di kampus yang sama. Sumia tengah mengambil gelar master untuk bidang ilmu keperawatan.
Saat keduanya merasa cocok, pernikahanpun dirancang. "Saat mengenalkan Sumia, saya mengaku pada ayah bahwa saya telah menjadi seorang Muslim," ujarnya. Ayahnya sempat berang, namun akhirnya menerima. "Dia bahkan sangat sayang pada Sumia."
Bagi Matthew, Sumia adalah "hadiah" dari Allah setelah ia menjadi Muslim. Dan, ada satu "bonus" lainnya: berhaji.
Ya, keduanya dianggap oleh situs yang menjodohkannya sebagai "pasangan terhebat" yang bertemu melalui situs itu dan menginspirasi banyak orang. Maka Oktober tahun lalu, keduanya menunaikan ibadah haji. "Sungguh itu berkah yang tak terduga, Subhanallah," ujar calon dokter ini.