Rabu 28 Nov 2018 09:58 WIB

Mengenal Prosedur Peremajaan Organ Kewanitaan

Persalinan dan perubahan hormon mempengaruhi kondisi organ kewanitaan.

Rep: Santi Sopia/ Red: Ani Nursalikah
Perempuan (Ilustrasi)
Foto: Allwomenstalk
Perempuan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak masa pubertas sampai menopause, organ kewanitaan mengalami beberapa fase yang dapat menurunkan elastisitasnya akibat sejumlah faktor, seperti persalinan dan perubahan hormon.

Data menunjukkan prosedur peremajaan organ kewanitaan meningkat. Menurut American Society for Aesthetic Plastic Surgery (ASAPS), jumlah operasi yang dinamakan labiaplasty ini meningkat 217,3 persen di Amerika sejak 2012-2017. Data itu dianggap kenaikan terbesar jika dibandingkan operasi plastik apa pun selama kurun waktu tersebut.

Baca Juga

Dokter kebidanan dan kandungan yang berpengalaman dalam bidang ginekologi estetika dari Bamed Womens Clinic Ni Komang Yeni Dhanasari mengatakan peremajaan organ kewanitaan saat ini bukan hanya sekadar mencari kenikmatan seksual. Menurutnya, pasien bisa semakin meningkatkan kepercayaan diri dan kualitas hidupnya.

"Peremajaan organ kewanitaan bukanlah suatu hal yang tabu dibicarakan sehingga perempuan tidak usah malu mengemukakan kebutuhannya dan mencari solusi hal ini," katanya, dalam seminar di Jakarta, Selasa (27/11).

Peremajaan organ kewanitaan dilakukan dengan metode non-invasif, semi-invasif, dan invasif. Prosedur non-invasif sifatnya tidak melukai serta dapat dilakukan secara sadar dan nyaman.

Selama tindakan berlangsung, pasien akan merasakan kenaikan temperatur yang menimbulkan rasa hangat di area kewanitaan. Setelah tindakan ini, pasien sudah diperbolehkan pulang dan beraktivitas seperti biasa.

photo

Prosedur non-invasif bersifat tidak permanen, tetapi dapat dilakukan antara enam sampai 24 bulan tergantung kebutuhan. Seperti layaknya penggunaan teknologi radio frequency sebagai upaya anti-penuaan terhadap wajah, peremajaan organ kewanitaan secara non-invasif juga menggunakan prinsip yang sama. Prosedur dilakukan untuk perawatan labia remodeling, labia majora tightening, labia majora brightening, serta vaginal tightening atau pengencangan organ kewanitaan.

Dalam presentasinya tentang prosedur semi-invasif, Yeni memaparkan kriteria atau syarat melakukan terapi peremajaan organ wanita. Kriteria itu di antaranya perempuan yang mengalami masalah elastisitas organ kewanintaan yang mulai berkurang (vaginal laxity), kering atau infeksi berulang, stress urinary incotinence (SUI), dan yang menginginkan solusi masalah kesehatan kewanitaan tanpa operasi.

"Kalau bicara tren, idealnya bagaimana itu beda-beda. Di Italia setiap organ kewanitaan dipercaya memiliki keunikan masing-masing. Di Indonesia, ideal menurut diri sendiri, menurut suami," kata Yeni.

Prosedur semi-invasif, yaitu labia mayora augmentation dan injeksi G-spot. Labia mayora augmentation adalah prosedur menambah volume pada bagian labia luar. Tindakan ini dapat dilakukan baik dengan platelet rich plasma (PRP) atau filler sehingga tampilan organ kewanitaan lebih berisi dan kencang.

Sedangkan injeksi G-spot merupakan tindakan untuk meningkatkan orgasme. Prosedur ini juga membantu perempuan yang tidak dapat menikmati hubungan seks akibat kehilangan titik sensitifnya. Prosedur dilakukan dengan cara menginjeksi serum dari darah pasien yang sudah melewati proses sentrifugasi.

"Cepat terangsang juga beda-beda, maka perhatikan G-spot ini," ujarnya.

Mengenai prosedur invasif, dokter kandungan Dasep Suwanda menjelaskan, terdapat bermacam-macam tindakan untuk peremajaan organ kewanitaan. Tindakan ini dapat meliputi clitoralhood reduction, labia mayore plasty, labia minora plasty, vaginoplasty, hingga hymenoplasty yang bermanfaat memperbaki dan merapatkan kembali selaput dara. Kisaran harga terapinya berbeda, antara Rp 15 juta, Rp 300 juta hingga Rp 1,5 miliar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement