REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Faktor tekanan (stres) menjadi hal yang kerap terjadi, terutama di kata-kota besar. Menurut survei yang dilakukan oleh Zipjet pada 2017, Jakarta berada di peringkat 18 teratas kota paling stres dengan total skor 7,84. Tidak heran jika berbagai macam cara dilakukan masyarakat untuk menghadapi stres, salah satunya adalah mengonsumsi makanan atau minuman yang dianggap sebagai comfort food atau makanan nyaman.
Tanpa disadari, kebiasaan tersebut dapat memicu emotional eating (makan emosional) yang jika tidak dikendalikan dapat meningkatkan asupan gula garam lemak (GGL) yang mampu memicu penyakit tidak menular. Tara de Thouars, BA, M.Psi, psikolog yang kerap menangani kasus emotional eating, mengungkapkan, faktor psikologis dan fisiologis memengaruhi apa yang dikonsumsi dan menentukan hubungan yang dimiliki antara makanan dan emosi.
"Kita membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, tetapi ada makanan tertentu yang kita konsumsi dalam kondisi spesifik. Dalam kondisi ini, seseorang biasanya menginginkan makanan berkalori tinggi dengan nilai gizi yang minim," kata Tara di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jenis makanan nyaman yang dipilih bisa seperti es krim, kue, cokelat, kentang goreng atau piza. Berdasarkan data dari American Psychological Association, 38 persen orang dewasa mengaku bahwa saat mereka mengonsumsi makanan tidak sehat secara berlebihan karena munculnya stres, separuhnya merasa menyesal kemudian.
Emotional eating memiliki beberapa tanda yang bisa dikenali. Seperti secara tiba-tiba muncul keinginan makan makanan yang spesifik, atau cenderung makan lebih dari biasanya tapi setelahnya merasa bersalah.
Makan emosional adalah ketika Anda menggunakan makanan sebagai cara untuk mengatasi emosi Anda, bukan makan karena Anda lapar. Makan emosional biasanya dihubungkan dengan perasaan negatif, seperti saat Anda sedang merasa kesepian, sedih, gelisah, takut, marah, bosan, atau stres.
Maria Dewantini Dwianto selaku Head of Corporate Communications PT Unilever Indonesia, Tbk menjelaskan, Unilever Indonesia memahami adanya fenomena emotional eating. Sebagai bagian dari komitmen untuk membantu meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, Unilever mengambil tema Emotional Eating, Waspadai Asupan Gula, Garam, Lemak (GGL) dalam Jakarta Food Editor's Club (JFEC) kali ini.
"Melalui produk kami juga selalu melakukan inovasi, seperti rendah gula, lemak dan garam," katanya.