REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Tim ilmuwan baru-baru ini melakukan eksplorasi keterkaitan pandangan seseorang tentang kehidupan dengan kesehatan kardiovaskularnya. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis JAMA Network Open ini menemukan orang yang optimistis mungkin lebih dari sepertiga kemungkinan kecil menderita serangan jantung atau stroke.
Mereka mengumpulkan data dari 15 analisis sebelumnya tentang perempuan dan pria di seluruh dunia. Sebanyak 230 ribu peserta berasal dari Amerika Serikat (AS), Eropa, Israel, dan Australia, serta diikuti selama periode 14 tahun.
Menurut temuan penelitian tersebut, para peserta yang menggambarkan diri mereka sebagai orang optimistis mengalami stroke 35 persen lebih sedikit daripada mereka yang tidak selama periode waktu tersebut. Selain itu, responden yang diidentifikasi sebagai optimistis memiliki kemungkinan 14 persen lebih kecil untuk mengalami kematian dini oleh sebab apapun, termasuk penyakit kardiovaskular, kanker, demensia, dan diabetes.
Tingkat optimisme para peserta dievaluasi dengan menggunakan skala psikologis, sementara kesehatan mereka secara keseluruhan juga dinilai. Penulis koresponden penelitian dan seorang ahli jantung di Rumah Sakit Mount Sinai St Luke di New York, profesor Alan Rozanksi mengatakan temuan penelitian tersebut menunjukkan pola pikir optimisme terkait dengan risiko kardiovaskular yang lebih rendah.
Ia menambahkan promosi optimisme dan pengurangan pesimisme mungkin penting untuk kesehatan preventif.
“Studi kami adalah meta-analisis pertama, untuk pengetahuan kami, untuk menilai hubungan antara optimisme dan hasil klinis. Temuan ini konsisten dengan penelitian yang telah mengevaluasi hubungan antara optimisme dan kondisi medis terkait lainnya,” kata Profesor Rozanski, seperti yang dilansir dari Independent, Sabtu (28/9).
Profesor Rozanski juga menjelaskan menjadi seseorang yang optimistis dapat membuat seseorang lebih mungkin mengikuti gaya hidup sehat dengan berolahraga teratur, konsumsi makanan yang seimbang, dan tidak merokok.
“Optimisme telah lama diumumkan sebagai atribut positif untuk hidup. Secara keseluruhan, manfaat kardiovaskular dan psikologis dari bersikap optimistis menjadikannya arena baru yang menarik untuk dipelajari dalam bidang kardiologi perilaku,” ujarnya.
Para peneliti percaya temuan mereka dapat mengarah pada pengenalan terapi perilaku kognitif (CBT) yang lebih intensif untuk membantu pasien yang menderita depresi. Mereka menyatakan selain mempromosikan diet sehat dan olahraga teratur dalam pandangan mereka, para profesional medis harus mendorong pemikiran positif di antara pasien mereka.
Profesor Rozanski mengatakan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih mendefinisikan mekanisme bio-behavioral yang mendasari asosiasi tersebut dan mengevaluasi manfaat potensial dari intervensi yang dirancang untuk mempromosikan optimisme atau mengurangi pesimisme.
Awal tahun ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Fakultas Kedokteran Universitas Boston mengklaim menjadi seseorang yang optimistis dapat meningkatkan kemungkinan hidup hingga setidaknya sampai berusia 85 tahun. Para peneliti menilai data yang dikumpulkan dari sekitar 20 ribu wanita dan 1.400 pria dari Nurses Health Study dan Veterans Affairs Norming Aging Study.
“Sementara penelitian telah mengidentifikasi banyak faktor risiko penyakit dan kematina dini, kita tahu relatif kurang tentang faktor-faktor psikososial positif yang dapat mempromosikan penuaan yang sehat,” kata Asisten profesor psikiatri di lembaga akademik, Lewina Lee.
“Studi ini memiliki relevansi kesehatan masyarakat yang kuat karena itu menunjukkan optimisme adalah salah satu aset psikososial yang memiliki potensi untuk memperpanjang umur manusia,” ujarnya menambahkan.