Jumat 17 Jan 2020 12:19 WIB

Keguguran Berpotensi Picu Gangguan Jiwa

Ada gangguan kejiwaan yang munkin muncul setelah perempuan alami keguguran.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Nora Azizah
Salah satu risiko yang mungkin muncul pascakeguguran adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Ilustrasi Gangguan Jiwa)
Foto: Pxfuel
Salah satu risiko yang mungkin muncul pascakeguguran adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Ilustrasi Gangguan Jiwa)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keguguran bisa menjadi pengalaman pahit yang memberikan konsekuensi serius pada kondisi mental perempuan. Salah satu risiko yang mungkin muncul pascakeguguran adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang dipicu oleh kejadian traumatis. Pada PTSD, kejadian traumatis memunculkan pikiran-pikiran dan perasaan buruk yang intens meski kejadian traumatis tersebut sudah lama berlalu menurut American psychiatric Association.

Baca Juga

Sebuah studi gabungan dalam American Journal of Obstetrics and Gynaecology mengungkapkan seperti apa dampak psikologis yang dihadapi perempuan setelah kehilangan bayi mereka saat hamil. Studi ini melibatkan 737 perempuan yang pernah mengalami keguguran sebelumnya.

Studi ini menemukan bahwa 29 persen atau hampir sepertiga perempuan mengalami stres pascatrauma sekitar satu bulan setelah kehilangan bayi dalam kandungan mereka. Selain itu, satu dari empat perempuan mengalami gangguan kecemasan sedang hingga berat dan satu dari 10 perempuan mengalami depresi sedang hingga berat.

Direktur Nasional Miscarriage Association, Ruth Bender Atik, mengungkapkan bahwa temuan dalam studi tersebut merupakan sesuatu yang memang terjadi di tengah masyarakat. Atik mengatakan Miscarriage Association telah melihat bagaimana berbagai kasus keguguran dan kehamilan ektopik menjadi sesuatu yang amat menyedihkan bagi perempuan.

"Guncangan saat diagnosis, dampak fisik dari nyeri dan perdarahan, perasaan sedih, keduakaan dan kehilangan bayi yang seharusnya ada," ujar Atik yang tak terlibat dalam studi tersebut, dikutip republika.co.id, Jumat (17/1).

Dalam kondisi normal, perasaan sedih dan kedukaan ini akan mereda seiring dengan berjalannya waktu. Namun seperti yang ditunjukkan dalam studi, kehilangan bayi dalam kandungan akibat keguguran atau kehamilan ektopik dapat memberikan dampak serius bagi kesehatan mental sebagian perempuan.

"Ini mengonfirmasi penelitian kami sendiri di area kami dan menggarisbawahi pentingnya perawatan suportif yang baik untuk siapapun yang mengalami keguguran," terang Atik.

Hal ini pula yang dialami oleh seorang perempuan bernama Sally Thompson. Perempuan berusia 31 tahun ini telah mengalami enam kali keguguran dan satu kehamilan ektopik dalam kurun waktu lima tahun.

Pada keguguran pertama, Thompson mengalami keguguran dan harus menjalani operasi untuk mengeluarkan janin dari rahimnya. Pascaoperasi, Thompson hanya dibekali dnegan selembaran tentang kehamilan dan disarankan untuk terus mencoba karena ia masih muda. Tak ada inisiatif dari rumah sakit untuk memperkenalkannya ke support group atau menjadwalkannya untuk kontrol pascaoperasi.

Setelah mengalami kehamilan ektopik, Thompson mulai merasa sangat cemas ketika keluar dari rumah. Thompson harus menghabiskan waktu 45 menit untuk pergi bekerja karena dia kerap terdiam lama di dalam mobil sambil menangis sebelum masuk ke kantor.

"Saya kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari seperti mandi, menyapu dan mencuci piring," tutur Thompson.

Ia bahkan kerap berpikir terlalu paranoid bila sang suami telat pulang ke rumah beberapa menit. Misalnya, berpikir bahwa sang suami telat pulang karena mengalami kecelakaan di tempat kerja.

Selama berbulan-bulan, Thompson menjalani hidup dengan kondisi seperti ini. Pada satu titik, Thompson bahkan tidak mau keluar rumah hingga tiga minggu. Akhirnya, sang suami menyadari masalah yang dihadapi Thompson dan memberikan dukungan serta membantunya untuk bangkit.

"Ada anggapan bahwa keguguran di awal kehamilan hanyalah kehilangan sekumpulan sel-sel. Tapi pada keguguran, Anda merasakan kehilangan yang sama seperti bayi lahir mati," jelas Thompson.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement