REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Meski telah tiga kali gagal melakukan operasi penyelamatan sandera, Amerika Serikat akan terus menjalankan operasi serupa.
Operasi penyelamatan terbaru yang gagal terjadi Sabtu pekan lalu di Yaman. Milisi Alqaidah menembak mati dua sandera, jurnalis foto asal AS Luke Somers dan guru asal Afrika Selatan Pierre Korkie.
Menteri Pertahanan Chuck Hagel membela operasi yang gagal tersebut dan intelijen di belakangnya. Dia menyiratkan tidak akan ada peninjauan menyeluruh atas kebijakan AS. "Saya pikir ini bukan persoalan melihat ke belakang dan meninjau proses yang kami lakukan. Proses ini dilakukan menyeluruh mungkin. Apakah ini tidak sempurna? Ya. Apakah ada risiko? Ya," ujar Hagel saat berkunjung ke Markas Taktis Gamberi di Afghanistan timur, Ahad (7/12).
Dia menambahkan operasi penyelamatan dimulai dari adanya warga AS yang ditawan dan berada dalam bahaya. Penggrebekan sebelumnya untuk membebaskan Somers pada pertengahan November juga gagal. Somers tidak ada di tempat saat pasukan AS dan Yaman tiba.
Operasi penyelamatan pertama yang berlangsung Juli lalu untuk membebaskan jurnalis AS James Foley justru berujung pada pemenggalan Foley. Meski berisiko tinggi, operasi penyelamatan tidak akan dihentikan, terutama karena AS memiliki kebijakan tidak membayar tebusan untuk membebaskan sandera.
Gedung Putih mengatakan peninjauan atas kebijakan tawanan yang diperintahkan Obama musim panas ini tidak akan mencakup pembahasan mengenai tebusan. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Alistair Baskey mengatakan peninjauan dilakukan mengingat meningkatnya jumlah warga AS disandera oleh kelompok teroris di luar negeri dan sifat luar biasa dari kasus sandera baru-baru ini.
"Barack Obama menemukan mimpi buruk saat berurusan dengan masalah tawanan yang sebelumnya ditemukan oleh Jimmy Carter dan Ronald Reagan. Saya tidak melihat adanya ruang untuk perubahan bagi kebijakan Amerika," kata mantan pejabat senior CIA dan kontraterorisme Gedung Putih Bruce Riedel.
Penggerebekan untuk membebaskan Foley dan Somers yang pertama gagal karena mereka tampaknya telah meninggalkan lokasi sebelum pasukan AS datang. Hal ini menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan intelijen dalam menentukan lokasi sandera. "Pesan yang dikirimkan adalah pertama, kita tidak akan pernah membayar dan kedua penyandera berada dalam risiko besar," ujar Riedel.