REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Thobib Al-Asyhar *)
Perdebatan soal kecintaan Tanah Air belakangan ini semakin menghangat. Apalagi memasuki tahun 2018 sebagai tahun politik. Ada fenomena massif saling klaim bahkan ancam antar komponen bangsa yang mengakibatkan riak-riak sosial. Satu pihak menuduh pihak lain tidak nasionalis, begitu juga sebaliknya.
Satu "kata" yang sangat hegemonik di lini massa Indonesia, media sosial, adalah kata NKRI. Istilah yang sering dijadikan takaran seseorang atau kelompok orang masuk kategori nasionalis atau tidak. Ada pihak yang sangat lantang meneriakkan "NKRI harga mati!" dengan segala terminologinya. Sementara ada pihak lain yang sangat kasat mata justru menggerogoti spirit NKRI dengan klaimnya melalui kalimat "selamatkan Indonesia dari krisis".
Jika dilacak secara teoritik, pertarungan ini tidak lepas dari unsur-unsur mendasar terkait kekuasaan yang melibatkan hubungan agama (Islam) dan negara. Meski perdebatannya sesungguhnya telah selesai dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara, namun ada saja kelompok kanan baru yang mencoba membongkar kesepakatan itu dengan dalih-dalih klasik. Misalnya, cinta tanah air tidak ada dalilnya dalam Islam, bela negara tidak relevan dengan kondisi negara saat ini, Khilafah Islamiyah adalah solusi untuk Indonesia, dan lain-lain.
Lalu, dari fenomena itu muncul gerakan perlunya kembali menggalakkan cinta tanah air dan menyosialisaikan program Bela Negara melalui berbagai skema. Tidak kurang dari Presiden Jokowi telah membentuk badan baru bernama Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Lembaga yang dipimpin oleh Yudi Latif ini dinyatakan bukan bersifat adhoc, tetapi lembaga permanen. Salah satu sasaran kerja lembaga ini adalah meluruskan pandangan yang salah soal Pancasila dan agama.
Kementerian Pertahanan juga memberikan perhatian khusus soal Bela Negara melalui kampanye publik di berbagai media. Demikian juga di berbagai Kementerian/Lembaga, seperti Kementerian Agama, Kominfo, Kementerian PMK, Kemenpolhukam, Kemendikbud, BNPT, Kemenristek Dikti, dan lain-lain.
Perspektif Islam
Nah, bagaimana Islam memandang "Bela Negara" itu? Adakah konsep Islam tentang Bela Negara? Bela Negara dalam pandangan Islam dijelaskan secara eksplisit maupun implisit, baik dalam Alquran maupun Hadis. Salah satu istilah yang digunakan Islam terhadap "Bela Negara" diantaranya melalui konsep hubbul wathan (cinta tanah air).
Dalam Alquran disebutkan bagaimana Nabi Ibrahim As mendoakan negeri yang ia tinggali (Makkah) agar aman dan makmur. "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari kemudian...". (QS: Al-Baqarah:126).
Juga dalam ayat lain: "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala." (QS: Ibrahim: 35).
Kecintaan terhadap tanah air ini juga terekam dengan baik dalam hadis Rasulullah Saw., sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau bersabda: “Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu.” (HR. Ibnu Hibban).
Dalam hadis yang lain, Rasulullah Saw. juga menyebutkan bagaimana beliau menggambarkan kecintaannya terhadap negeri Madinah yang didiami selama 10 tahun berdakwah menyebarkan risalah Islam: "Ya Allah, cintakanlah kami kepada Madinah sebagaimana cinta kami kepada Makkah atau bahkan melebihi. Jadikanlah ia (Madinah) kota yang sehat dan berkahilah mud (takaran) dan sha’ nya. Dan pindahlah panasnya lalu jadikanlah di daerah Juhfah." (HR. Imam Ahmad, Al-Baihaqi, dan lainnya).
Dasar Alquran dan Hadis tersebut sangat jelas bahwa konsep Bela Negara benar-benar ada dalam Islam. Meski sebagian kelompok menolak konsep itu dikaitkan dengan politik Islam, namun dalam catatan sejarah, nilai-nilai itu dipraktikkan. Pengalaman-pengalaman selama pemerintahan yang dipimpin tokoh Islam selalu menyisakan kisah-kisah heroik tentang bagaimana muslim mencintai negaranya dalam banyak ekspresi.
Salah satu implememtasi "cinta tanah air" dalam Islam diwujudkan dalam bentuk perintah untuk taat kepada Ulil Amri (pemerintah yang sah). Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu.” (Qs. al-Nisa: 59).
Namun, ketaatan kepada Ulil Amri dibatasi selama para pemimpinnya tidak memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan atau perbuatan yang melanggar hukum-hukum Allah. Tujuan dari kewajiban taat kepada Ulil Amri sangat jelas, yaitu untuk mewujudkan kebaikan, ketenteraman, harmoni sosial, kesejahteraan, keadilan sosial, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa "Bela Negara" dalam Islam hanya terjadi jika Negara menyerukan terhadap kebaikan. Dengan demikian, tujuan "Bela Negara" semata-mata untuk menciptakan kebaikan bagi semua dan mencegah dosa serta keburukan (madlarat) yang dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks bangsa dan negara kita, pelaksanaan "Bela Negara" dapat dilakukan oleh siapapun, dan dalam kondisi apapun. "Bela Negara" tidak hanya berhenti pada perjuangan fisik (memanggul senjata), namun juga bisa dilakukan dalam bentuk amal-amal baik yang bermanfaat.
Prinsipnya, sikap dan tindakan-tindakan positif yang bermanfaat bagi orang lain (apapun agama atau golongannya) yang didasarkan pada kecintaan penuh kepada negerinya adalah bentuk "Bela Negara".
Sudahkah kita telah berkontribusi untuk "Bela Negara" untuk bangsa dan negara kita? Wallahu a'lam.
*) Kabag Ortala, Kepegawaian, dan Hukum Ditjen Bimas Islam, Dosen Kajian Timteng dan Islam Sekolah Stratejik dan Global Universitas Indonesia.