Rabu 11 Sep 2019 06:03 WIB

Ketika Nasib KPK di Ujung Tanduk

Sudah jelas tujuan RUU KPK adalah melemahkan dan menghilangkan eksistensi KPK

Red: Karta Raharja Ucu
Neni Nur Hayati
Foto: Dokumentasi Pribadi
Neni Nur Hayati

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Neni Nur Hayati*

Belum lama ini, publik dikejutkan dengan adanya sepuluh nama calon pimpinan KPK yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan diduga masih terdapat nama nama bermasalah yang dapat mengganjal upaya pemberantasan korupsi. Sepuluh nama tersebut telah dikirimkan oleh Presiden Jokowi kepada DPR tanpa ada perubahan nama satu pun.

Dalam situasi tersebut Jokowi dinilai kurang respon terhadap suara rakyat untuk tidak meloloskan nama-nama bermasalah. Padahal sejatinya, pucuk pimpinan haruslah diisi oleh orang yang sudah teruji integritas dan independensinya (Syafii Maarif, 2019).

Wacana revisi UU KPK yang dinilai dapat melemahkan lembaga antikorupsi juga kembali mencuat ke permukaan. Presiden Jokowi telah menegaskan Revisi Undang-Undang tersebut adalah usul DPR dan tidak mengetahui poin mana saja yang diusulkan untuk dilakukan revisi. Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar.

Dalam selang waktu yang tak lama ini, KPK mendapat pukulan yang hebat dan bertubi-tubi. Sangat ironi, ketika presiden mengaku tak mengetahui poin revisi UU KPK.

photo
Kain hitam menutupi lambang kpk sebagai bentuk aksi terhadap revisi UU KPK di Gedung Merah Putih, Jakarta.

Dalam UU KPK yang baru diusulkan ini adalah diubahnya KPK dari Lembaga Independen menjadi Lembaga Pemerintah Pusat di bawah presiden. Hal itu jelas bertentangan dengan Piagam PBB (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, melalui UU 7 Tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC yang tercantum pada article 6 bahwa negara penandatanganan konvensi harus memiliki lembaga antikorupsi yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun (Lakso Anindito, 2019).

Sudah sangat jelas tujuan dari revisi UU KPK tersebut adalah untuk melemahkan dan menghilangkan eksistensi serta mengamputasi kewenangan KPK. Usulan revisi UU KPK ini tentu saja hadir dari pihak-pihak yang gerah terhadap kinerja KPK. Terlebih memang faktanya pada kasus penanganan korupsi yang ditangani KPK, sejumlah 60 persen itu ada di sektor politik di antaranya kepala daerah, anggota DPR/DPRD, menteri dan lain-lain (Donal Fariz, 2019).

Berdasarkan data yang dilansir dari KPK, selain anggota DPR, DPRD, kepala daerah, ada 27 menteri dan kepala lembaga yang dijerat, ada 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II dan III. Tercatat, ketua DPR-RI dan ketua DPD aktif, dan sejumlah menteri aktif yang melakukan korupsi juga ikut diproses.

Karenanya, sasaran objek KPK hanya ada dua, yakni penyelenggara negara dan penegak hukum. Dengan kata lain, kedua objek ini dipastikan tidak senang terhadap keberadaan KPK.

photo
Sejumlah mahasiswa yang tergabung BEM Seluruh Indonesia melakukan Aksi Nasional Menolak Revisi UU KPK di depan Komplek Parlemen, Jakarta. (Republika/Rakhmawaty La’lang)

Namun, sebagai pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, tentu akan sangat merasa risau saat nasib KPK sudah ada di ujung tanduk. Semestinya, institusi KPK yang sudah terbukti berhasil dalam melakukan upaya untuk memberantas korupsi ini mendapatkan perlindungan dan apresiasi yang setinggi-tingginya.

Bayangkan saja, jika KPK tidak hadir dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, sudah berapa milyar uang rakyat yang habis untuk diselewengkan oleh para pelaku korupsi?

Kini, posisi penegasan revisi UU KPK itu ada di tangan presiden. Apakah Presiden Jokowi akan mampu melakukan penolakan wacana Revisi UU KPK tersebut kepada DPR dan lebih memperkuat kelembagaan KPK seperti apa yang diharapkan oleh rakyat? ataukah justru akan menerima usulan revisi tersebut dan menandatanganinya? Presiden harus segera berani mengambil tindakan dengan cepat dan tepat. Tidak bermain di wilayah abu-abu yang semakin membingungkan masyarakat sipil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement