Rabu 11 Sep 2019 08:45 WIB

Kompromi Merevisi UU KPK

KPK tetap menolak revisi undang-undang.

Selembar kain hitam yang menutupi logo KPK tersibak saat berlangsungnya aksi dukungan untuk komisi anti rasywah itu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Selembar kain hitam yang menutupi logo KPK tersibak saat berlangsungnya aksi dukungan untuk komisi anti rasywah itu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, pemerintah tidak akan sepenuhnya menyetujui poin-poin yang diusulkan DPR dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Wapres, tidak semua usulan perubahan sejalan dengan keinginan pemerintah.

"Jangan lupa itu (masih) draf. Sekarang pemerintah membikin DIM- DIM (daftar inventaris masalah). Pemerintah hanya menyetujui beberapa hal, tidak semua disetujui," ujar Wapres, di Jakarta, Selasa (10/9).

Menurut JK, pemerintah tak menyetujui poin dalam RUU KPK bahwa KPK harus melakukan koordinasi ke Kejaksaan Agung sebelum melakukan penuntutan. "Nggak perlu itu. Kita tidak minta," kata Wapres.

Selain itu, pemerintah juga menganggap KPK tetap harus menjadi lembaga tempat disampaikannya laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN). Dalam draf revisi UU KPK, LHKPN cukup dilaporkan di instansi/kementerian/lembaga masing-masing dan KPK hanya berwenang melakukan supervisi serta koordinasi.

"Jadi, mungkin dari sisi yang diusulkan DPR paling yang disetujui pemerintah setengah," ujar JK. Wapres juga tidak sepakat dengan usulan DPR agar ada pembatasan sumber penyelidik dan penyidik KPK.

Dalam rancangan revisi UU KPK, penye lidik KPK hanya dibatasi dari anggota kepolisian, sedangkan saat ini hampir seluruh penyelidik KPK adalah hasil rekrutmen lembaga itu. Selain itu, penyidik dalam rancangan revisi UU KPK hanya berasal dari kepolisi an, kejaksaan, dan PNS, sementara saat ini lebih dari separuh penyidik di KPK adalah hasil rekrutmen sendiri.

Wapres mengatakan, penyadapan oleh KPK memang harus diawasi agar tidak melanggar privasi orang lain. "Yang kita setujui bukan meminta pengawasan, minta persetujuan tidak. Tapi, harus diawasi supaya penyadapan itu jangan sampai merusak atau privasi orang secara luas," kata dia.

Menurut dia, pemerintah menginginkan alat-alat penyadapan di KPK harus diaudit sehingga jelas dipergunakan untuk pemberantasan korupsi. Wapres juga menilai usulan pasal yang mengatur kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) harus dimasukkan. Dengan adanya kewenangan tersebut, JK menilai ada peluang pihak yang tidak terbukti bersalah dihentikan penyidikannya.

Wapres menyatakan, pemerintah juga sepakat poin usulan revisi UU KPK bahwa pegawai KPK dimasukkan dalam kategori aparatur sipil negara (ASN). "Hakim juga ASN, apa hakim tidak bisa independen? (Artinya) tidak berarti ASN tidak independen, tidak. Tergantung caranya," ujarnya. Ia menegaskan, meski nantinya termasuk ASN, pemerintah tidak akan ikut campur di dalam KPK.

Menurut Wapres, Presiden Joko Widodo akan segera mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR berkenaan dengan RUU KPK. "Mungkin hari ini dilakukan," kata JK.

photo
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2).

Di lain pihak, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan, pihaknya siap melakukan pembahasan bersama pemerintah soal RUU KPK terkait komentar JK itu. "Sebagaimana sebuah rancangan undang-un dang, itu pasti akan ada pembahasan yang di DPR bersama-sama dengan pemerintah," ujar Bambang di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Selasa (10/9).

Ia menekankan, bagaimanapun pembahasan revisi UU KPK akan bergantung pada proses pembahasan yang dilakukan DPR bersama pemerintah terkait. Bila kesamaan pandangan antara pemerintah dan DPR sudah bertemu, revisi UU KPK pun bakal semakin cepat diproses.

Terkait pernyataan JK, Bamsoet enggan berspekulasi soal sinyal adanya surat presiden yang akan segera dikirimkan oleh Presiden Joko Widodo ke DPR RI. Bamsoet mengatakan, dia belum mengetahui apakah surat presiden tanda dimulainya pembahasan revisi UU KPK dapat segera dimulai.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menegaskan, sejauh ini pihaknya belum mendapatkan informasi resmi, baik dari pemerintah maupun DPR, terkait revisi UU KPK. Jadi, seakan-akan kami hanya mendengar seliweran saja seperti itu. "Kami sangat berharap bahwa apa yang kami kerjakan sekarang itu, UU KPK itu masih relevan dan masih baik dan belum perlu direvisi," kata Syarif di gedung KPK, Selasa (10/9).

Terkait kekhawatiran JK soal penyadapan KPK, Syarif menegaskan proses penyadapan KPK sebenarnya merupakan salah satu yang paling akuntabel di Indonesia. "Penyadapan itu hanya dilakukan apabila ada surat penyelidikan-penyelidikan itu harus ditandatangani oleh kasatgasnya, mendapatkan persetujuan direkturnya, dan deputinya lima orang," ujar Syarif. (fauziah mursid/arif satrio nugroho/dian fath risalah)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement