REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) merilis 10 provinsi yang terbanyak dilaporkan berkenaan dugaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) ke KY selama 2017. Terbanyak pertama adalah DKI Jakarta sebanyak 318 laporan (21,59 persern), Jawa Timur sebanyak 174 laporan (11,81 persen), Jawa Barat sebanyak 123 laporan (8,35 persen).
Selain itu, Sumatra Utara sebanyak 115 laporan (7,81 persen), Sulawesi Selatan sebanyak 73 laporan (4,96 persen), Jawa Tengah sebanyak 64 laporan (4,34 persen), Riau sebanyak 62 laporan (4,21 persen), Sumatra Selatan sebanyak 48 laporan (3,26 persen). Adapun, Sumatra Barat sebanyak 41 laporan (2,78 persen) dan Nusa Tenggara Barat sebanyak 40 laporan (2,72 persen).
Juru Bicara KY Farid Wajdi menuturkan tidak semua laporan dapat dilakukan proses sidang pemeriksaan panel atau pleno, karena laporan yang masuk perlu diverifikasi kelengkapan persyaratan atau telah memenuhi syarat administrasi dan substansi, untuk dapat diregistrasi.
"Untuk tahun 2017 KY, laporan yang memenuhi persyaratan sebanyak 411 laporan masyarakat," paparnya dalam keterangan pers yang diterima, Selasa (16/1).
Total selama 2017, KY menerima sebanyak 1.473 laporan masyarakat dan 1.546 surat tembusan sepanjang 2017. Berdasarkan jenis perkara, masalah perdata mendominasi laporan yang masuk ke KY, yaitu 679 laporan atau 46,09 persen dari total laporan yang masuk. Untuk perkara pidana berada di bawahnya dengan jumlah laporan 414 laporan 28,10 persen.
Farid menuturkan, data ini menggambarkan dominasi perkara perdata dan pidana karena perkara tersebut berada di ranah kewenangan peradilan umum dengan kompleksitas perkara yang tinggi dan sensitif. Perkara lainnya adalah tata usaha negara sebanyak 87 laporan (5,90 persen), agama sebanyak 86 laporan (5,83 persen), dan tindak pidana korupsi sebanyak 78 laporan (5,29 persen).
"Berdasarkan jenis badan peradilan atau tingkatan pengadilan yang dilaporkan, jumlah laporan terhadap pengadilan negeri dalam lingkup peradilan umum sangat mendominasi, yaitu sebanyak 1.073 laporan (72,84 persen)," kata dia.
Kemudian berturut-turut, yaitu Mahkamah Agung sebanyak 95 laporan (6,44 persen), Peradilan Agama sebanyak 88 laporan (5,97 persen), Peradilan Tata Usaha Negara sebanyak 82 laporan (5,56 persen), dan Tipikor sebanyak 52 laporan (3,53 persen).
Farid mengatakan, dari pengalaman KY menangani laporan masyarakat, salah satu alasan rendahnya persentase laporan masyarakat yang dapat diproses karena masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap persyaratan yang harus dilengkapi dalam melaporkan hakim yang melanggar KEPPH. Selain itu, banyak laporan yang ditujukan ke KY berisi permohonan untuk dilakukan pemantauan persidangan.
Ada juga laporan yang diteruskan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) terkait wewenang Bawas MA dan teknis yudisial. Banyak juga laporan yang tidak dapat diregistrasi karena bukan kewenangan KY, seperti meminta perlindungan hukum, keberatan terhadap substansi putusan, meminta KY mengubah putusan, atau meminta membatalkan putusan.
"Bahkan ada laporan yang meminta pendapat hukum atau fatwa hukum dari KY. Kurangnya pemahaman masyarakat ini menjadi tantangan KY untuk lebih mengoptimalkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait wewenang KY dan tata cara laporan masyarakat," ujar dia.