REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Donny BU, mengklaim bahwa pihaknya telah memblokir 1.285 media sosial (medsos) pasca tragedi bom di sejumlah gereja, di Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Bahkan, proses blokir hanya memakan waktu 3-4 hari.
"Sesungguhnya, proses yang sudah dilakukan oleh kami jauh-jauh hari dilakukan terus-menerus dan saat kejadian lebih diintensifkan, " ujar Donny, dalam siaran persnya, Rabu (16/5)
Lanjut Donny, salah satu upaya terkait itu adalah dengan membuka aduan konten, internet sehat, siber kreasi dan lainnya. Adapun isinya yaitu dengan melakukan literasi digital, cara menghindari paham radikal. Menurutnya, kini ada 143 juta pengguna medsos yang berpotensi terkena virus radikal. Bersamaan dengan itu, propaganda kelompok radikalisme dan terorisme kerap dilakukan di dunia maya atau medsos.
Pengamat Terorisme Universitas Indonesia Solahudin, menyampaikan bahwa medsos dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris di Indonesia. Menurutnya, kelompok teroris di Indonesia memanfaatkan secara maksimal medsos untuk proses radikalisasi.
Baca: Penyerang Mapolda Riau Berbaiat ke ISIS
Kalangan akademisi sudah terlihat bahwa gerakan ekstrimisme menggunakan media online memang tengah nge-hits. Baik itu untuk peradikalisasian ataupun rekruitmen. Namun khusus di Indonesia, penggunaan media online oleh kelompok tersebut hanya terkait dengan upaya peradikalisasian," katanya.
Solahudin menyampaikan berdasarkan hasil penelitiannya terhadap narapidana terorisme, sebanyak 85 persen. Di antaranya, melakukan aksi teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun, sejak pertama kali terpapar paham ISIS.
"Kemudian saya mencoba membandingkan dengan terpidana terorisme sejak 2002 hingga 2012. Ternyata, para napiter ketika itu rata-rata memerlukan waktu 5 hingga 10 tahun, sejak pertama kali terpapar sampai dengan terlibat dalam aksi terorisme," jelasnya.
Kemudian Solahudin juga mengatakan, dirinya juga menemukan bahwa hampir semua terpidana kasus teroris itu memiliki akun sosial media. Sehingga dirinya berkesimpulan semua pelaku aksi terorisme memang memiliki keterkaitan dengan sosial media. Salah satu contoh peran media sosial mendorong percepatan peradikalisasian, terpidana terpidana teroris bernama Anggi, misalnya.
Sementara, Facebook Indonesia menegaskan sebagai platform yang tidak memberikan ruang untuk kekerasan. Karena itu, Facebook Indonesia menindaklanjuti aduan konten yang berkaitan dengan terorisme dan komentar negatif dari masyarakat maupun laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
"Kalau menemukan konten yang melanggar akan kami tindaklanjuti. Kami minta masyarakat rajin melaporkan konten-konten (negatif)," ujar Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari di Gedung Kominfo, Jakarta, Selasa (15/5).
Ruben mengatakan Facebook Indonesia bekerja sama dengan pemerintah untuk menghapus konten-konten yang mengarah pada terorisme, kekerasan, dan ujaran kebencian. Setiap konten, baik berupa gambar, video, maupun komentar, yang naik ke Facebook bisa langsung dilaporkan pengguna melalui fitur laporan yang ada di platform tersebut.
Selain aduan pada platform, masyarakat juga dapat menggunakan layanan aduan konten yang disediakan Kominfo melalui surel, Twitter, dan Whatsapp. "Ada dua jalur itu," kata dia.