REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) fokus melakukan penanaman kembali hutan kritis di kawasan hulu sungai Citarum. Menurut Kepala Sub Direktorat Pemolaan KLHK Saparis Sudarjanto selain untuk mengurangi banjir karena mampu menghasilkan kawasan resapan air, penghijauan inipun sangat diperlukan untuk mengurangi pencemaran. Pada 2018 ini, KLHK kembali melakukan hal serupa di atas 2.500 hektare lahan kritis.
KLHK, kata dia, melakukan berbagai program terkait rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di daerah aliran sungai (DAS) telah digulirkan sejak 2015 silam. Saparis menjelaskan, erosi di kawasan hulu menyebabkan pencemaran dan sedimentasi di sepanjang aliran sungai.
Sebagai contoh, pada 2015, erosi di lahan kritis DAS Citarum mencapai 6,1 juta ton per tahun. Kondisi ini terjadi akibat adanya lahan kritis seluas 79.549 hektare. Rinciannya, di dalam kawasan hutan 38.963 hektare dan di luar 40.585 hektare.
"Oleh karena itu, sejak 2015 hingga saat ini, pihaknya telah melakukan RHL di seluas 18.925 hektare," ujar Saparis Sudarjanto yang akrab disapa Totosaat meninjau lokasi RHL DAS Citarum, di Kampung Babakan Cianjur, Desa Malasari, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Rabu petang (28/2).
Toto menyebut, program tersebut saat ini telah membuahkan hasilnya. Yakni, saat ini erosi di lahan kritis DAS Citarum berkurang menjadi 5,2 juta ton per tahun. Pada 2018 ini, pihaknya kembali melakukan hal serupa di atas 2.500 hektare lahan kritis.
"Kami mengalokasikan anggaran Rp 38 miliar, untuk reboisasi dan agroforestry di atas 555 hektare," katanya
Namun, kata Toto, agroforestry diperlukan mengingat lahan-lahan kritis inipun merupakan milik masyarakat. Sehingga, mereka tidak menolak lahan-lahannya dihijaukan karena akan memberi nilai ekonomi.
"Jadi selain ditanami tumbuhan kuat seperti kayu, dengan agroforestry inipun lahan-lahannya ditanami kopi, tomat, dan apapun yang memberi nilai ekonomi," katanya.
Toto optimistis, target pemerintah yang akan menuntaskan persoalan di Citarum selama 7 tahun bisa tercapai. Asalkan, semua pihak memiliki komitmen yang sama untuk mengatasinya. "Dengan catatan di sini, yang lain juga digerakkan. Kita persoalannya sinergi, koordinasi," katanya.
Toto menilai, perlu instrumen baku untuk menyinergikan seluruh unsur terkait. Salah satunya dengan aturan terkait penataan ruang yang memiliki keberpihakan terhadap konservasi kawasan hulu. Yakni, melalui aturan tata ruang yang jelas.
Ia berharap, setiap wilayah hulu difungsikan sebagai kawasan lindung sehingga mampu mencegah terjadinya kerusakan yang mengakibatkan bencana. Terlebih, menurutnya dengan menjadikan wilayah hulu sebagai kawasan lindung, sama dengan menambah penampungan air yang kapasitasnya lebih besar dibanding waduk buatan.
"Jadi kita buat waduk hijau dengan adanya kawasan lindung ini," katanya.