Kamis 22 Feb 2018 13:45 WIB

Ketua DPR: Tak Ada Kegentingan Memaksa Keluarkan Perppu MD3

UU MD3 yang disetujui adalah hasil pembahasan antara DPR dan Pemerintah.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Budi Raharjo
Ketua DPR, Bambang Soesatyo
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketua DPR, Bambang Soesatyo

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua DPR Bambang Soesatyo mendukung sikap Presiden Joko Widodo yang mengatakan tidak akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang terhadap Undang undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Meskipun diketahui presiden masih enggan menandatangi Revisi UU MD3 yang telah disahkan pada rapat paripurna DPR pekan lalu.

Hal ini kata Bambang karena tidak ada kegentingan memaksa untuk dikeluarkan sebuah Perppu. "Presiden sudah mengatakan belum berpikir atau tidak berpikir untuk keluarkan Perppu. Saya pikir pemikiran Presidem sama dengan kami di DPR karena tidak ada kegentingan yang memaksa, kecuali hanya perasaan-perasaan saja," ujar Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (22/3).

Lagipula Bambang juga menegaskan Revisi UU MD3 yang telah disetujui adalah hasil dari pembahasan antara DPR dan Pemerintah sehingga telah melalui prosedur yang benar. Jika pun, Presiden sedang mempertimbangkan untuk tandatangan atau tidak, ia tetap menghargai keputusan presiden.

"Kita menghargai keputusan apapun yang akan diambil oleh presiden. Tapi yang pasti UU kita mengatur manakala presiden tidak tanda tangan maka dalam waktu 30 hari UU itu berlaku dan mengikat," kata Bamsoet, sapaan akrabnya.

Bamsoet melanjutkan, jika ada pihak yang memang tidak setuju dengan norma yang diatur di UU MD3, ada mekanisme yang dapat ditempuh melalui Mahkamah Konstitusi. "Ya silahkan digugat di MK. MK akan melakukan uji materi apakah UU ini sesuai dengan UU dasar 1945 atau tidak. karena MK patokannya adalah filosofi semangat UU dasar 1945," ujar Politisi Partai Golkar tersebut.

Sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan menandatangani revisi UU MD3 yang sudah disepakati rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018 lalu. Hal ini karena ada beberapa pasal dalam UU MD3 yang dinilai kontroversial.

"Jadi Presiden cukup kaget juga, makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan mendandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa (20/2).

Adapun pasal yang dianggap kontroversial yakni Pasal 73, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, setiap orang yang menolak memenuhi panggilan para anggota dewan. Pasal itu meminta Polri wajib memenuhi permintaan tersebut.

Pasal 122 huruf k, mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. Selanjutnya, Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement