REPUBLIKA.CO.ID, Dalam istilah seksologi, tingkat kekerasan untuk pria disebut dengan EHS (Erection Hardness Score). EHS dibagi menjadi empat, jika dianalogi tingkat satu adalah seperti tape (membesar, tapi tidak keras), tingkat dua seperti pisang (keras, tetapi tidak cukup keras untuk melakukan penetrasi), tingkat tiga adalah sosis (cukup keras untuk melakukan penetrasi, tetapi tidak sangat keras), dan tingkat empat adalah timun (tingkat kekerasan yang sempurna).
Walaupun sekilas tampak vulgar, EHS ini perlu diketahui oleh masyarakat sebab tidak hanya memengaruhi kebahagiaan di atas ranjang, tetapi juga kesehatan pria. Kesehatan ini tidak hanya dari sisi jasmani, tetapi juga mental, terutama dari tingkat kepercayaan diri seorang pria.
Menurut Dr Heru H Oentoeng M Repro SpAnd dari Asosiasi Seksologi Indonesia, tingkat kekerasan ereksi dapat menjadi indikator kesehatan pria karena ketika pria tidak dapat mencapai tingkat kekerasan optimal (EHS 4), sel-sel pembuluh darah yang ada dalam penis tidak sepenuhnya terisi oleh darah.
Tingkat kekerasan ereksi sering juga diasumsikan dengan masalah psikologis atau konsekuensi dari penuaan. “Dari sisi psikologis, para pria yang masuk dalam EHS 3 cenderung kurang percaya diri dan merasa kurang dicintai serta dihargai. Pada akhirnya, mereka tidak mendapatkan dampak positif dari kegiatan di atas ranjang yang kemudian memicu terjadinya stres,” paparnya.
Dari sisi kesehatan, ditemukan pria dengan EHS 3 menjalani rawat inap tiga kali lebih sering dibandingkan yang memiliki kekerasan optimal (EHS 4). Mereka ini cenderung mengalami masalah kesehatan yang kronis, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit hati, obesitas, stroke, dan disfungsi ereksi.
Dr Heru mengingatkan, pria yang masuk EHS 3 jangan menganggap remeh masalah ini. Ia menyarankan, untuk segera melakukan konsultasi ke dokter untuk mengidentifikasi penyebab utama kekerasan penis yang tidak optimal. Terapi farmakologis dapat menjadi salah satu jalan keluarnya. Ia juga mengingatkan, agar menghindari penggunaan obat-obat kuat di pinggir jalan. “Tidak jelas pembuatannya,” katanya.
Selain itu, Heru mengingatkan pula, untuk mewaspadai obat-obat palsu yang beredar di pasaran. Obat-obat itu biasanya tidak melalui uji klinis sebelumnya, dibuat di tempat yang kurang higienis, bahkan ka dang mengandung bahan-bahan beracun. Kalaupun menggunakan terapi farma kologis, ia mengingatkan, agar tidak ber gantung pada obat kuat. “Setelah dinyatakan sembuh, hentikan. Tidak perlu lagi mengonsumsi obat,” katanya.