REPUBLIKA.CO.ID, Annisa (bukan nama sebenarnya) bingung melihat kelakuan anaknya, Nina (10 tahun). Anak semata wayangnya itu, kini menjadi lebih pendiam, dan tertutup. Padahal, sebelumnya Nina termasuk anak yang 'ceriwis' dan selalu ingin tahu. Annisa khawatir perubahan ini ada hubungannya dengan beberapa kali Nina memergoki dirinya bertengkar dengan suami. Pasalnya, kata dia, perubahan itu terjadi sejak pertengkaran itu menjadi sering dilakukan. ''Beberapa waktu terakhir saya memang kerap bertengkar dengan suami. Saya khawatir dia mendengar pertengkaran kami. Sikapnya menjadi berubah akhir-akhir ini,'' kata Annisa. Ia pernah menanyakan hal ini kepada Nina, namun anaknya hanya diam membisu. Bahkan, katanya, Nina kini sering menyendiri.
Bisa jadi kekhawatiran Annisa benar adanya. Elmira Sumintardja, psikolog yang juga Koordinator LSM Jaringan Relawan Independen (JARI) mengingatkan, pertengkaran orang tua dapat berdampak buruk terhadap anak. Apalagi, katanya, jika anak tersebut melihat kedua orang tua bertengkar. Pasalnya, ujar dia, anak mempunyai ingatan yang kuat. Pertengkaran itu dapat direkam pada ingatan anak dan melekat lama. Hal ini dapat berdampak negatif bagi kondisi kejiwaan sang anak. Salah satu tandanya adalah perubahan sikap anak. Karena itu, Elmira mengingatkan para orang tua untuk lebih sensitif kepada kondisi anak. Pertengkaran orang tua, katanya, dapat menempatkan anak di posisi yang serbasalah. Hal ini, dapat membuat anak menjadi bingung. Karena keduanya adalah orang tuanya sendiri.
''Ketika melihat pertengkaran itu, anak itu bingung harus memilih siapa. Apakah berpihak ke ayahnya atau ibunya. Dia ditempatkan pada posisi konflik,'' kata Elmira. Kasus-kasus seperti ini, katanya, sangat banyak ditemui di lapangan. Bahkan, dari 85 kasus yang ditangani oleh JARI, hampir setengahnya merupakan kasus kekerasan yang berdampak pada anak. Penempatan anak pada posisi konflik, lanjutnya, bisa berakibat macam-macam pada anak. Masing-masing anak mempunyai cara sendiri-sendiri untuk mengatasi masalahnya. Dampak pertengkaran, antara lain, bisa membuat anak menjadi sering marah baik kepada kedua orang tuanya maupun lingkungan sekitar. Ini, merupakan wujud luapan emosinya terhadap orang tuanya. Atau, bisa juga anak itu secara terus terang memilih salah satu di antaranya. Selain menjadi lebih agresif, anak juga dapat menjadi pendiam. Hal ini dikarenakan tekanan emosi yang mendera anak tersebut.
Anak yang pendiam, lanjut Elmira, harus lebih diwaspadai. Pasalnya, dibandingkan dengan anak yang agresif, anak pendiam lebih bersikap defensif. Penyaluran emosi anak pada kondisi ini, menjadi tertahan. ''Kalau dia emosi, sukanya marah-marah itu berarti emosinya tersalurkan. Tetapi kalau dia menjadi pendiam, itu patut diwaspadai. Karena emosinya bisa, saja tidak tersalurkan dengan benar,'' ungkap Elmira. Anak yang pendiam ini, katanya, bisa saja menyalurkan emosinya dengan kondisi yang berbeda. Anak, ujarnya, bisa melampiaskan emosinya kepada benda atau bahkan binatang. Caranya bermacam-macam. Misalnya, kata dia, boneka di kamar dipegang sambil diremas. Ini, lanjutnya, merupakan wujud penyaluran emosi anak. Kekecewaan atau emosi marah, juga bisa dilampiaskan kepada binatang dengan cara melukainya.