Selasa 21 Jan 2020 14:45 WIB

Temui Wapres, JBMI Harap Tes DNA untuk Sengketa Ahli Waris

Tes DNA dinilai penting untuk alat bukti melindungi hak perdata anak.

Rep: Fauziah Mursid./ Red: Muhammad Hafil
Temui Wapres, JBMI Harap Tes DNA untuk Sengketa Ahli Waris. Foto: Ketua Umum DPP Jami
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Temui Wapres, JBMI Harap Tes DNA untuk Sengketa Ahli Waris. Foto: Ketua Umum DPP Jami

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA--Jami'íyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) menilai pentingnya tes deoxirybo nucleic acid (DNA) sebagai alat bukti dalam melindungi hak perdata anak, termasuk solusi penyelesaian hak waris di Indonesia. Itu juga yang disampaikan Ketua Umum DPP JBMI Albiner Sitompul saat menemui Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Albiner mengungkap, meskipun tes DNA telah dikenal di hukum acara Indonesia, namun pada praktiknya banyak kendala dari penerapan tes DNA tersebut.

Baca Juga

"Karena ada hak asasi manusia bahwa belum ada kewajiban  (bagi) orang yang diuji, dia punya hak untuk menolak, berdasarkan pengalaman praktisi di hukum acara tidak semua pihak mau tes DNA," ujar Albiner di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (21/1).

Karena itu, Albiner menilai perlunya penyelesaian hak waris bisa ditentukan dengan tes DNA. Ia juga berharap ada aturan yang jelas agar semua pihak wajib jika untuk melaksanakan tes DNA.

Karena itu, arahan Wapres Ma'ruf memaksimalkan seminar Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan para ahli dan praktisi hukum terkait peran tes DNA dalam menyelesaikan sengketa hak waris.

Ia mengatakan, seminar akan dilakukan di tiga titik yakni di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten atau UIN Sunan Gunung Jati, di UIN Riau atau UIN Padang, dan di wilayah timur yakni di IAIN Ternate atau UIN Mataram NTB.

"Alhamdulilah beliau menyarankan agar diikutsertakan juga ulama, jangan hanya praktisi, jangan hanya ilmu pengetahuan saja tapi ulama dilibatkan dan ponpes karena mereka banyak berkecimpung di sana," ujarnya.

Albiner mengungkap alasan yang melatarbelakangi tes DNA mutlak bagi perlindungan hak perdata anak, karena anak harus mempunyai nasab ayah atau bin sah.

Sementara, masalah perlindungan hak perdata anak berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dibebankan kepada ibu kandung. Karena itu, solusi untuk anak-anak yang tidak diakui nasabnya maka dibutuhkan pembuktian nasab melalui tes DNA.

Untuk itu, Albiner mengatakan, jika dalam seminar premis tentang tes DNA mutlak terbukti maka ia mendorong agar ada perubahan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menjadi UU Kompilasi Hukum Islam.

"Karena Inpres belum mengaturnya maka (harus) dibuat UU, maka semua wajib antar pihak wajib tes DNA, sehingga mengikat ada kewajiban hak dan sanksi," ujarnya.

Sementara itu, Guru Besar Forensik UI Prof Djaja Surya Atmadja mengatakan kesimpulan tes DNA untuk pembuktian hubungan ayah dan anak nyaris 99 persen. Namun, ia menyebut masih ada kendala dalam pelaksanaannya.

Pertama, dari sisi hukum dimana ada keharusan pembuktian dilakukan oleh pihak pendalil. Namun, implementasinya pihak laki-laki dalam hal ini berhak menolak.

"Karena menolak tidak bisa diperiksa. Saya sering mendapatkan hal tersebut karena pemeriksaan paternitas untuk tahu anaknya siapa juga sudah kami lakukan pada 96 kasusnya mentok ke situ. Laki-laki tidak mau periksa," ujarnya.

Kedua, lanjut Djaja, masalah wali nikah juga belum ada solusinya. "Kalau dia tahu wali nikah si bapaknya itu. Buat saya tidak menjadi ganjalan. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Itu menjadi pembahasan yang belum ada jalan keluarnya. Mestinya akademisi, ulama, dan sarjana hukum saling membantu dan merumuskan," ujarnya.

Fauziah Mursid

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement