Kamis 23 Jan 2020 15:00 WIB

Fikih Ikhtilaf pada Masa Nabi Muhammad

Nabi Muhamamd menyikapi adanya dua perbedaan pandangan fikih.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Fikih Ikhtilaf pada Masa Nabi Muhammad. Foto: Toleransi perbedaan pendapat (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Fikih Ikhtilaf pada Masa Nabi Muhammad. Foto: Toleransi perbedaan pendapat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak masa Nabi Muhammad telah terjadi perbedaan hukum fikih atau fikih ikhtilaf di tengah-tengah umat Islam. Di antaranya adalah terkait pelaksanaan ibadah shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah.

Salah satu ahli fikih, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, dalam peristiwa shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah tersebut umat Islam dapat mendapat pelajaran yang berharga dalam menyikapi perbedaan dalam fikih Islam.

Baca Juga

Saat itu para sahabat nabi terpecah menjadi dua. Sebagian sahabat melakukan shalat Ashar di perkampungan tersebut meskipun telah lewat Maghrib. Mereka melakukannya berdasarkan sabda nabi yang berbunyi:"Janganlah kalian Shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah."

Sementara, sebagaian sahabat lainnya memandang tidak boleh melakukan shalat Ashar setelah lewat waktu Maghrib. Lalu, bagaimana Nabi menyikapi adanya dua perbedaan pendangan tersebut?

Ternyata nabi tidak menyalahkan kelompok manapun karena kedua kelompok tersebut telah melakukan ijtihad dan taat terhadap perintah Allah. Mereka hanya berbeda dalam meemahami teks sabda nabi.

Dari hadis tersebut, jumhur atau mayoritas mengambil kesimpulan bahwa tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad karena Rasulullah tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut.

Ibnu Qayyim, mengatakan bahwa para ahli fikih berselisih pendapat tentang pendapat kedua kelompok yang berbeda pendapat tersebut. Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menunda melakukan shalat ashar dan melakukannya di perkampungan Bani Quraidhah.

Sementara, kelompok ahli fikih lainnya berpendapat bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat ashar pada waktunya ketika dalam perjalanan menuju perkampungan Bani Quraidhah. Jadi, tidak ada yang salah dari pendapat kedua kelompok tersebut.

Sementara, dalam tata cara ibadah shalat sendiri juga terdapat perbedaan. Ustaz Sarwat mengatakan ketika nabi takbiratul ihram ada dua riwayat yang menyebutkan. Satu hadis menyebutkan bahwa nabi mrngangkat tangan sampai sebatas telinga, ada juga hadis yang menjelaskan bahwa nabi mengangkat tangan hanya sebatas pundak atau dada.

"Jadi kalau dalam kasus ibadah kayak shalat dan sebagainya, memang nabi shalatnya itu juga beda-beda," kata Ustaz Sarwat.

Jadi, menurut Ustaz Sarwat, banyak sekali peristiwa di mana khilafiyah itu terjadi, termasuk dalam membaca Alquran. Bahkan, kata dia, Umar pernah mau mencekik seorang imam shalat gara-gara menganggap imam tersebut salah membaca Alquran.

"Tapi untungnya sebekum dia cekik, dia bawa dulu kepada nabi. Kemudian dikonfirmasi oleh nabi bahwa itu adalah bacaan yang turun lewat jibril dan mutawatir juga, dalam arti itu bacaannya benar. Cuma qiraatnya itu berbeda," jelasnya.

Ikhtilaf dalam perang

Dalam penempatan pasukan perang badar, menurut Ustaz Sarwat, juga pernah terjadi perbedaan pendapat antara Rasulullah dengan seorang sahabat. Menurut sahabat yang ahli perang ini, pendapat Rasulullah yang bukan berdasarkan wahyu saat itu kurang tepat.

Setelah sahabat itu menjelaskan pikirannya, Rasulullah pun kagum atas strategi sahabatnya tersebut. Rasulullah akhirnya setuju untuk memindahkan pasukannya ke tempat yang lebih strategis. Artinya, kata Ustaz Sarwat, nabi sendiri saat itu dapat menghargai pendapat sahabatnya.

Saat perang badar hampir berakhir, Rasulullah juga sempat memiliki keinginan untuk menghentikan perang dan menjadikan lawan sebagai tawanan perang. Nabi kemudian bermusyawarah dengan para sahabatnya dan akhirnya diputuskan untuk menawan dan meminta tebusan kepada musuh. 

Namun, Umar bin Al-Khattab menjadi satu-satunya sahabat yang berbeda pendapat dengan nabi saar itu. Umar tidak ingin menghentikan perang dan meminta agar nabi meneruskan perang, sehingga musuh mati semua. Menurut Umar, tidak layak menghentikan perang begitu saja karena mengharapkan kekayaan dan kasihan.

Tentu saja pendapat seperti ini tidak diterima dalam forum musyawarah Rasulullah serta para sahabat lainnya. Tidak lama kemudian, turun wahyu yang membuat Rasulullah gemetar ketakutan, karena ayat itu justru membenarkan pendapat umar dan menyalahkan semua pendapat yang ada.

Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Surat Al-Anfal ayat 67).

Sampai saat ini perbedaan pandangan dalam fikih masih terus terjadi. Co-Founder Rumah Fiqih Indonesia, Ustazah Aini Aryani menjelaskan bahwa dalam penetapan hukum Fikih memang hampir selalu terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Hal ini tentu harus dipandang dengan kacamata positif karena inilah khazanah pemikiran luas para ulama.

Menurut dia, adanya ikhtilaf atau perbedaan pendapat ini menjadikan hukum syariah lebih fleksibel dan aplikatif karena menyuguhkan beberapa opsi hukum dari para ulama yang muktamad. Ikhtilaf ini pula lah yang menjadkan hukum syariah relevan di setiap zaman dan tempat.

"Sebab-sebab perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum-hukum syar’i biasanya bersumber dari dalil-dalil yang bersifat dzanni (lawan dari qath’i) atau yang lafadznya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu," jelas Ustazah Aini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement